Pages

Kamis, 16 April 2009

Manusia Pemelihara Alam

Kamis, 16 April 2009
Salah satu penentu keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang adalah persoalan lingkungan. Baik atau tidaknya kehidupan manusia, bahkan ada atau tidaknya manusia, tergantung dari bagaimana manusia bisa memecahkan masalah kerusakan lingkungan yang kian hari kian parah.

Saat ini isu kehidupan manusia yang semakin sulit karena kerusakan lingkungan bukan lagi diucapkan dengan kata ’seandainya’. Namun sudah dalam tahap menunggu, kapan dan seberapa besar bencana lingkungan itu akan terjadi. Para ahli menghitung, temperatur permukaan bumi mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama satu abad yang lalu dan rata-rata peningkatan terbesar terjadi dalam duapuluh tahun terakhir ini. Peningkatan suhu permukaan bumi tersebut akibat dari tertahannya panas karena polusi udara atau yang biasa disebut dengan efek rumah kaca.

Meningkatnya suhu permukaan bumi [disebut juga global warming] menyebabkan lapisan es di kutub mencair. Akibatnya permukaan laut meninggi. British Antartic Survey bekerjasama dengan US. Geological Survey melakukan pengamatan terhadap lapisan es yang ada di bagian barat Antartika. Hasilnya, dalam jangka 50 tahun terakhir, lapisan es di wilayah tersebut menyusut sebesar 87 persen.

Berdasarkan laju penyusutan lapisan es itu, diperkirakan pada tahun 2100 nanti permukaan air laut secara global akan meningkat antara 19 sampai 95 cm. Padahal, peningkatan sebesar 1 meter akan menenggelamkan beberapa pulau di dunia, termasuk banyak pulau yang ada di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP] juga melakukan pemantauan. Hasil pantauan itu menunjukkan, rata-rata kenaikan permukaan air laut di wilayah Indonesia sebesar 5 sampai 10 milimeter per tahun. Memang, peningkatan itu relatif kecil jika dilihat per tahunnya, hanya dalam satuan milimeter saja. Namun, sungguh mengerikan apabila kita membayangkan apa yang terjadi pada sepuluh, duapuluh atau limapuluh tahun mendatang. Sebenarnya, tanpa melihat laporan pengamatan atau penelitian para ahli, kita sendiri bisa merasakan adanya perubahan iklim itu. Dahulu kita bisa dengan mudah menentukan kapan musim kemarau berakhir dan penghujan datang. Bulan-bulan tertentu bisa kita sebut musim kemarau dan bulan-bulan yang lain disebut musim penghujan. Sekarang, kemarau dan penghujan semakin sulit diprediksi.

Dampak dari perubahan iklim global juga sudah kita rasakan, tanpa harus menunggu dalam jangka waktu yang lama. Bencana banjir dan tanah longsor kian sering terjadi dan dalam tingkat resiko yang lebih tinggi. Para petani sudah kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam, karena musim kian sulit diprediksi. Badai terjadi di mana-mana, bahkan di wilayah-wilayah yang dulunya aman dari badai.

Melihat gejala-gejala alam yang sudah kita rasakan itu, kemungkinan besar prediksi para ahli lingkungan itu benar. Di masa mendatang, manusia akan mengalami kesulitan dengan kondisi alam yang tak lagi bersahabat. Bisa jadi, akibat kerusakan yang sangat parah, bumi tak lagi menjadi tempat yang layak bagi manusia untuk hidup dan berkembang. Sementara, belum ditemukan tempat lain seperti bumi. Langkah yang paling bijak adalah mengupayakan agar bumi dan alam yang melingkupinya kembali menjadi tempat yang nyaman dan layak untuk hidup.

Pandangan Manusia terhadap Alam
Semakin kritisnya kondisi lingkungan hidup menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tak hanya para ilmuwan dan pemerhati lingkungan saja, para filsuf dan agamawan pun ikut memikirkannya. Pembahasan mengerucut pada akar masalah kerusakan lingkungan yaitu manusia.

Usaha manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di satu sisi membawa manusia pada suatu era yang disebut modern, hidup manusia kian mudah, potensi yang ada di alam dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi yang lain, kemampuan manusia mengolah alam menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta [antroposentris].

Pandangan manusia terhadap alam berubah. Sebelum manusia mengenal ilmu pengetahuan modern, manusia menganggap bahwa alam memunyai kekuatan. Dikenallah dewa-dewa sebagai wujud kekuatan itu. Ada dewa penguasa langit, penguasa bumi, dewa kesuburan, dewa api, dan sebagainya. Dewa-dewa itu dipuja dengan upacara-upacara dan sesajen agar tak menurunkan murkanya.

Setelah kemampuan manusia berkembang dan berhasil menemukan karakter dan hukum-hukum alam, manusia menemukan egonya. Dirinyalah penguasa alam. Segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah miliknya dan digunakan sepenuhnya untuk menunjang hidupnya. Sayangnya, yang muncul kemudian bukanlah kearifan memanfaatkan alam, tapi keserakahan karena nafsu.

Sebenarnya, saat itu sudah ada pemikiran untuk melestarikan alam. Salah satunya apa yang diungkapkan Immanuel Kant, filsuf asal Jerman. Dalam pandangan Kant, ada usaha manusia untuk melestarikan alam, namun usaha tersebut bukan dalam bentuk kewajiban. Bagi Kant, usaha melestarikan alam itu hanya dianggap sebagai tindakan yang indah karena bisa menimbulkan kesenangan, tanpa ada embel-embel keharusan untuk melaksanakan.

Pandangan manusia yang merasa dirinya sebagai penguasa alam membawanya pada kondisi kepanikan global karena kerusakan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan itu akhirnya membawa manusia pada suatu kesadaran bahwa hidup manusia tak kan lestari tanpa ada usaha melestarikan alam.

Muncullah teori-teori tentang kehidupan manusia dan kelestarian alam. Arne Naess, filsuf dari Norwegia dalam konsep yang disebutnya Ecosopy T mengatakan, ada tiga hal yang perlu manusia sadari dalam usahanya menyelamatkan alam dan lingkungan.

Pertama, manusia harus memandang alam sebagai bagian dari dirinya sehingga usaha memelihara alam berarti juga memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam memunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang sedikit pun untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka seberapa pun besarnya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan alam, manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya.

Tuhan, Alam, dan Manusia
Dalam ajaran Islam, pandangan tentang Tuhan, Alam, dan Manusia memunyai keterkaitan yang sangat erat. Seorang Muslim menyakini, Allah lah pencipta alam semesta dan mengaturnya dengan keseimbangan. Keyakinan itu menciptakan kesadaran bahwa alam semesta merupakan sarana memahami keberadaan dan kebesaran Allah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan [suburkan] bumi sesudah mati [kering]-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; [pada semua itu] sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” [QS al-Baqarah [2]: 164]. Sedangkan manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di muka bumi.” [QS al-Baqarah [2]: 30].

Khalifah diartikan sebagai ‘yang menggantikan’ atau ‘yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya’. Namun khalifah tak dipahami bahwa Allah tak mampu sehingga Dia perlu menjadikan manusia sebagai penggantinya, juga bukan menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan di muka bumi. Khalifah menunjukkan arti bahwa manusia diciptakan untuk mengemban amanah, yaitu sebagai ‘yang menggantikan’ Allah, Tuhan Pemelihara alam semesta [Rabb al-’âlamî]. Tugas manusia adalah memelihara alam semesta, sebagaimana yang diamanahkan [sesuai dengan rencana] Allah. Karena itu hubungan antara manusia dan alam bukan dalam konteks menundukkan dan ditundukkan, tapi memelihara dan dipelihara.

Mengartikan khalifah dengan pemahaman seperti itu akan jauh dari pandangan bahwa manusia adalah penguasa alam, yang punya hak eksploitasi tanpa batas dan tanpa berpikir untuk melestarikannya.

Memang benar, Allah menciptakan segala yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun perlu disadari juga bahwa manusia yang dimaksud tak hanya manusia yang hidup pada zaman kita sekarang ini, anak-cucu kita yang hidup di masa yang akan datang pun juga manusia. Maka dari itu, sebagai khalifah-Nya, manusia memunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang ada di bumi juga bisa dinikmati seluruh manusia, baik yang hidup di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang. « [imam]

----------------------------------------------------
ALif Edisi 21: Mari Sayangi Bumi
----------------------------------------------------

Senin, 13 April 2009

Bangunan Sebuah Kota

Senin, 13 April 2009
Saya pernah tinggal lama di sebuah kota, sebut saja Madangkara. Sebelum saya mulai tinggal di kota itu, dalam pikiran dan bayangan saya sudah terbangun kota yang namanya Madangkara, bagaimana perilaku masyarakatnya, lingkungan alamnya, dan cara kerja aparatur pemerintahannya. Bangunan itu saya susun menggunakan persepsi, sumbernya, kata orang yang pernah tinggal, berita di koran, juga tayangan di televisi.

Pembentukan kota Madangkara dalam pikiran dan bayangan itu saya perlukan sebagai sarana untuk berjaga-jaga, untuk mekanisme perlindungan diri agar tak salah dalam bergaul dan bersikap.

Setelah tinggal di Madangkara, bangunan kota itu lama-kelamaan runtuh, lebih tepatnya terbarui dengan kenyataan-kenyataan yang saya temui setiap hari. Tentang perilaku masyarakatnya. Saya sudah membayangkan, masyarakat kota sebesar Madangkara mempunyai sifat yang individualistik. Virus ketidakpedulian menyebar di kepala orang-orang, jangankan dengan orang yang tak pernah bertemu sebelumnya, dengan tetangga sebelah yang setiap hari bertemu saja pasang muka cuek.

Bayangan saya ternyata benar, bahkan lebih parah. Orang yang peduli dengan orang lain bukan saja disebut aneh tapi tolol. Saya pernah naik kendaraan umum. Saat itu penumpangnya penuh sesak, tapi karena saya naik dari ujung, saya masih dapat tempat duduk. Di tengah perjalanan, saya lihat ada ibu-ibu, kira-kira usianya lebih tua dari saya. Insting kelelakian saya muncul, seperti slogan iklan di televisi, "tunjukkan merahmu", saya berdiri dan tempat duduk saya berikan ke ibu itu. Tanpa ekspresi, ibu itu pun duduk, jangankan berterima kasih, untuk senyum saja tidak, dia malah memandangku seperti orang tertolol di dunia. Saya mengelus dada sambil berucap, "tempat macam apa ini?".

Ketidakpedulian semakin jelas terlihat dari perilaku pengguna jalanan. Sudah menjadi kebiasaan saling srobot, menggeber kendaraan dengan knalpot yang bersuara keras memekakkan telinga. Semua pengguna jalan seperti berada di sirkuit balap, berlomba menjadi yang terdepan, padahal fisnish-nya berbeda-beda. Sering, saya tertawa geli memikirkan itu.

Masyarakan Madangkara dalam pikiran dan bayangan saya, terkoreksi. Sikap saya juga harus dikoreksi. Saya semakin berhati-hati, tak mudah percaya dengan orang, meski saya sudah mengenalnya.

Meski kelihatan menegangkan, apalagi kalau saya cerita pengalaman di Madangkara kepada orang tua saya, bisa-bisa saya dipaksa pulang kampung, tapi saya menikmatinya. Seperti seorang arsitek, saya senang mengumpulkan dan memasang serpihan-serpihan kota Madangkara, berharap suatu saat nanti akan menjadi bangunan yang utuh dan indah.

Ada yang unik dan menarik, terkadang persepsi saya terlalu berlebihan, tak sadar kehati-hatian berubah menjadi ketakutan. Biasanya, kalau sudah begitu, ada peristiwa yang mengembalikan persepsi saya pada tempat yang semestinya. Ketika ketidakpercayaan pada masyarakat Madangkara sudah sedemikian akut, saya disadarkan untuk menguranginya pada takaran yang pas.

Suatu hari saya menjemput istri saya di stasiun. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba istri saya teringat sesuatu. Astaga, tasnya tertinggal di kereta. Ia langsung lemas karena dalam tas itu ada berkas-berkas yang sangat penting. Kami berpikir bagaimana mendapatkannya kembali.

Kami pun pergi ke stasiun terakhir, berangkat dengan harapan yang hampir tak ada. Melihat perilaku masyarakat Madangkara, hanya keajaiban jika kami bisa menemukan tas itu. Bagi istri saya, isi tas itu teramat penting, tapi bagi orang lain mungkin hanya lembaran-lembaran kertas yang tak berguna, bisa-bisa kami menemukannya di tong sampah dengan kondisi setengah terbakar.

Kami mendapati stasiun sudah sepi, maklum sudah kelewat waktu orang pulang kerja. Kami dapat informasi, ada petugas pengawas 24 jam di stasiun itu. Kami menemuinya dan menanyakan apakah ada tas dengan ciri-ciri ini dalam kereta ini. Petugas itu langsung membuka lacinya dan menyerahkan tas milik istri saya dengan isi yang masih lengkap. Ternyata, masih ada orang-orang di Madangkara sebaik petugas itu.

Bangunan kota Madangkara terevisi kembali, cat yang sebelumnya saya gambar semuanya usang, saya ubah, ada bagian-bagian tertentu saya cat dengan warna cerah.

Kekerasan Atas Nama Agama

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Religion & Spirituality
Author:Pusat Studi al-Qur’an [PSQ]
Hingga kini masih banyak pakar yang menilai Islam sebagai ajaran yang sulit untuk dipahami. Di satu sisi, Islam menekankan bahwa kehadirannya merupakan rahmat bagi semesta alam [rahmatan lil ’alamîn], namun di sisi lain, pelaku bom bunuh diri dan aksi-aksi terorisme yang terjadi beberapa kali menyatakan, aksinya itu didasarkan pada ajaran Islam.

Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam bahasa Arab, terorisme disebut dengan istilah al-irhâb, dan pelakunya disebut al-irhâbî. Al-irhâb diartikan sebagai sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Kata al-irhâb dengan pengertian di atas tak ditemukan dalam al-Qur’an.

Para pelaku terorisme kerap menggunakan istilah jihad. Mereka menyebutkan bahwa jihad memunyai makna perjuangan, perang, terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Jihad menjadi pengobar semangat bagi mereka. Padahal, memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an membuktikan bahwa Rasulullah Saw telah diperintahkan untuk berjihad sejak beliau masih berada di Mekah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama.

Kesalahpahaman dan kekeliruan memahami konsep-konsep tertentu dalam ajaran Islam, terutama konsep tentang perang dan jihad, menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi sekian banyak pihak, termasuk Departemen Agama. Buku "Kekerasan Atas Nama Agama" yang disusun tim dari Pusat Studi al-Qur’an [PSQ] menjadi jawaban atas keprihatinan tersebut. Banyak tema yang dibahas secara detail menyangkut dua konsep tersebut [perang dan jihad].

Selain untuk meluruskan kesalahpahaman seputar perang dan jihad, buku ini juga mengurai bagaimana konsep ajaran Islam menyangkut hubungan inter dan antarpemeluk agama yang berlainan, relasi Muslim dan non-Muslim dalam konteks sosiologi, dan yang lebih menarik lagi pembahasan tentang mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin.
12duadua © 2014