Pages

Selasa, 31 Maret 2009

Ayo Kita Cari

Selasa, 31 Maret 2009
Seorang pencari kayu berjalan masuk ke hutan. Dikumpulkannya ranting-ranting kering kemudian dijual ke pasar. Setiap pagi, saat ia bangun dari tidurnya, ia bahagia, wajahnya tampak ceria. Ia senang karena sebentar lagi ia akan masuk ke hutan. Tapi bukan karena ranting-ranting itu ia bahagia, melainkan karena bunga-bunga yang mekar di pinggir jalan, karena kicauan burung yang saling bersahutan dan karena semilir angin yang menyejukkan.

Begitulah. Dalam hidup itu pasti ada sesuatu yang membuat kita bersemangat untuk menjalaninya.  Ayo kita cari apa itu.

Senin, 23 Maret 2009

Azif Main Outbond

Senin, 23 Maret 2009



Azif kenal outbound ketika main flying fox di Kandangjurang Doang, wahana alam milik Dick Doang itu. Ia sangat terkesan sekali. Saat kami ke Ancol, dia lihat ada arena outbound-nya dan langsung tertarik bermain disitu. Akhirnya kuajaklah dia bermain. Ini foto-fotonya...

Kamis, 19 Maret 2009

ALiF Flash Book - Alif Magazine

Kamis, 19 Maret 2009

http://alifmagz.com/wp/?page_id=1308
ALiF bisa diunduh dengan format Flash Book. Silahkan mengunduhnya

Berdakwah Sambil Mengurai Belitan Ekonomi Masyarakat

Bagi Ahmad Muslim Suroyo, imam masjid di daerah Lebak Bulus, dakwah dengan kata-kata tidaklah cukup. Masyarakat kini banyak yang terhimpit masalah ekonomi. Kalau pun mereka mau ikut pengajian, hanya sekadar datang saja. Setelah itu apa yang disampaikan dalam pengajian akan banyak lewat begitu saja. Memang wajar, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah mencukupi kebutuhan ekonomi rumahtangganya. Selama belum teratasi, sulit memberi mereka pengetahuan agama.

Ahmad tinggal di rumah kontrakan. Sebagian besar tetangganya keluarga kurang mampu. Ada tukang bubur ayam, penjual nasi goreng, pengamen, dan juga penjual buah. Ahmad prihatin melihat kondisi tetangganya. Muncullah keinginan membantu mereka. Ia membuat acara-acara memperingati hari besar Islam. Tak hanya ceramah, tetapi juga ada bazar sembako dengan separuh harga di pasaran.

Satu lagi yang juga amat membuat Ahmad prihatin adalah pendidikan agama anak-anak di lingkungan sekitarnya. “Sebenarnya, keinginan mereka untuk belajar agama cukup besar. Tapi semuanya terbentur masalah biaya,” kata Ahmad. “Di dekat sini sudah ada Taman Pendidikan al-Qur’an [TPA], tapi bayar. Jangankan membayar itu, untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan saja sudah berat,” tambahnya.

Dari situ muncul lagi idenya untuk membuat pendidikan gratis untuk mereka. Semula ia hanya menargetkan 20 sampai 30 anak. Namun ternyata antusiasme masyarakat sangat tinggi. Rumah kontrakannya tak cukup menampung mereka. “Alhamdulillah, ada salah satu warga yang mengizinkan tempatnya dijadikan ruang kelas,” kenangnya.

Saat memulai kegiatan sosialnya itu, ia pesimis. Dari mana ia mendapatkan dana untuk membiayainya. Padahal setelah dihitung-hitung, dana operasional yang dibutuhkan untuk mendidik anak-anak saja sekitar 4 juta per bulan, belum kegiatankegiatan yang lain. Tapi ia memunyai keyakinan bahwa Allah pasti akan membantu siapa saja yang ingin berbuat baik. “Ketika kita membantu agama Allah, pasti Allah juga akan membantu kita,” tegasnya.

Ia memberanikan diri mengungkapkan kegelisahannya itu kepada para jamaah di masjid tempatnya menjadi imam. Mereka mendukung dengan memberikan sumbangan. Bahkan ada jamaah yang menyisihkan uangnya sebesar satu juta rupiah per bulan. “Alhamdulillah, saat ini dana operasional untuk dua tahun mendatang sudah tercukupi,” ujarnya sembari tersenyum. Ahmad juga mengatakan, saat ini yayasannya sudah bisa mengangkat tiga anak asuh dan memberikan bantuan modal untuk usaha. «

----------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Firday Edisi 19
"Fanatisme: Perlukah"
----------------------------------------------------------------

Selasa, 17 Maret 2009

Tersandung

Selasa, 17 Maret 2009
Pernah tersandung kan. Mestinya sudah tau juga, tersandung itu bukan karena batu yang besar, tapi batu yang kecil dan terabaikan. Meskipun kecil, batu itu bisa membuat kita jatuh tersungkur.

Ini adalah kisah tentang tersandung. Kisah tentang Alp Arslan, sultan Seljuk, yang tewas ditengah pasukannya sendiri. Bukan karena pertempuran yang dasyat, tapi karena sebab yang sepele.

Alp Arslan ingin menaklukkan Samarkand. Ia membawa pasukan yang terdiri dari dua ratus ribu penunggang kuda. Derapnya menggetarkan bumi. Saat menyeberang sungai menuju Samarkand, perlu waktu dua puluh hari sampai penunggang kuda paling belakang sampai ke seberang. Sambil berdiri tegak memandangi pasukannya ia berkata, "Inilah aku!"

Tibalah Alp Arslan di perbatasan Samarkand. Yussef, kepala penjaga perbatasan, dan pasukannya melawan. Tak perlu waktu banyak untuk mengalahkan Yussef. Badan Yussef yang kurus kering itu tak berdaya diseret kehadapan Alp Arslan. "Lepaskan dia, biar panahku sendiri yang menghukumnya," kata sultan itu. "Apalah arti seorang cecunguk dihadapan seorang yang besar," katanya dalam hati.

Tapi sultan lupa, terlalu sulit memanah dalam jarak dekat. Anak panah yang pertama meleset. Belum sempat panah yang kedua siap, Yussef menerjang. Tubuh tambun itu roboh dan sekarat. Dua tusukan belati melukai dada dan perutnya. Ia pun tewas.

Sebenarnya tidak terlalu sulit menghindari batu sandungan, tinggal jalan saja sambil melangkahinya. Tapi terkadang, kecongkakanlah yang membuat lalai, terlalu tegak memandang langit sehingga lupa memperhatikan kaki melangkah.

Catatan: Gambar pinjam dari sini

Minggu, 15 Maret 2009

Misteri Rubaiyat Omar Khayyam

Minggu, 15 Maret 2009
Rating:★★★★
Category:Books
Genre: History
Author:Amin Maalouf
“Sampaikan kepadanya bahwa sifat-sifat yang diperlukan untuk memegang pemerintahan bukanlah sifat-sifat yang diperlukan untuk meraih kekuasaan. Kalau mau mengelola pemerintahan dengan baik, orang tidak boleh memikirkan kepentingannya sendiri. Ia harus memerhatikan orang lain, terutama yang paling sengsara. Untuk meraih kekuasaan, orang harus memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, siap menghancurkan teman-temannya yang paling akrab. Dan aku, tak seorang pun yang bakal kuhancurkan.”

Kata-kata Omar Khayyam diatas yang paling saya ingat setelah membaca Misteri Rubaiyat Omar Khayyam, sebuah novel karya Amin Maalouf. Kenapa? Saya merasa kata-kata itu seperti wejangan dan pas banget dengan suasana seperti sekarang ini.

Untuk meraih kekuasaan, memang harus memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana tampil sebaik mungkin, melebihi para saingannya. Kalau perlu, memasang jargon yang menunjukkan dirinyalah yang paling hebat, sekaligus merendahkan yang lain. Saya sudah merasakan suasana itu. Begitu keluar pagar rumah saya, sudah terpampang gambar-gambar "menarik" dari calon wakil rakyat. Tak lupa dihiasi kata-kata yang meyakinkan.

Pasti, suasana akan semakin meriah dalam beberapa hari kedepan. Jargon yang semula bisu itu berubah menjadi suara yang lantang. Calon wakil rakyat yang semula hanya bisa dilihat gambarnya, bisa langsung diamati orangnya, berdiri diatas panggung, menebar janji untuk merubah negeri ini menjadi lebih baik.

Namun, yang dibutuhkan bukan itu. Saya sangat setuju dengan ungkapan Khayyam bahwa untuk mengelola kekuasaan itu diperkukan orang yang tidak memikirkan kepentingannya sendiri, harus selalu memerhatikan orang lain. Tidak merasa dirinya paling pintar dan paling hebat. Tak punya waham kebesaran yang merasa seolah-olah hanya dirinyalah yang bisa mensejahterkan negeri ini. Artinya orang yang pantas memegang kekuasaan itu bukanlah orang yang menginginkannya. Tapi, adakah yang seperti itu?

Novel yang berlatar kehidupan Parsi sekitar abad ke-11 ini sebagian besar bercerita tetang intrik-intrik perebutan kekuasaan. Meski judulnya Misteri Rubaiyat Omar Khayyam dan kemudi ceritanya juga pada lahirnya Rubaiyat itu, tapi novel ini sangat sedikit mengulas isi Rubaiyat. Cerita tentang kehidupan Omar Khayyam dan Rubaiyatnya juga hanya separuh buku, sisanya kisah tentang pencarian naskah asli Rubaiyat oleh Benjamin O Lesage.

Lesage yang berkebangsaan Amerika itu sejak kecil sudah mengenal Rubaiyat. Ia sangat mengaguminya. Namun pada puncak kekagumannya itu, ia justru meragukannya. Benarkah pernah ada seseorang yang mengarang bait-bait yang sangat indah dan menggugah itu? Satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah dengan menemukan naskah aslinya yang kabarnya ada di tangan seseorang.

Pencarian itu membawa Lesage ke daerah Timur Tengah yang kebetulan saat itu sedang terjadi pertarungan antar dua ideologi. Rezim Syah yang sedang berkuasa mendapat tekanan dari para pembaharu yang memperjuangkan penegakan demokrasi di Parsi. Rezim Syah mendapat dukungan dari para ulama yang menilai bahwa demokrasi dengan konstitusinya adalah penyimpangan dari agama dan itu adalah bid'ah.

Persoalan menjadi rumit tatkala ada campurtangan dari Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Meski para pembaharu itu memenangkan pertarungan, tapi pada akhirnya mereka mengalah akibat tekanan yang begitu besar dari Inggris dan Rusia. Setelah mengembargo secara ekonomi, Rusia menyatakan akan mengerahkan pasukan militernya jika Parsi tidak mau berada di bawah kendalinya.

Novel ini seperti meyakinkan saya bahwa dalam pertarungan kekuasaan, rakyatlah yang tetap menjadi korban, siapa pun yang menang. Ketika Parsi dalam genggaman para Syah, banyak korupsi meraja lela. Pengeluaran negara disunat untuk kepentingan pribadi para menterinya. Saat para pembaharu menang pun rakyat juga sengsara. Kelaparan dimana-mana karena kurangnya pasokan bahan makan dan perang dasyat mengancam.

Kalau begitu, mungkinkah ada pergantian kekuasaan tanpa ada perebutan terlebih dahulu? Jawabannya mari kita cari bersama, karena tidak ada dalam novel ini.

Jumat, 13 Maret 2009

Putus Asa

Jumat, 13 Maret 2009

Seorang nelayan putus asa setelah usahanya sama sekali tak mendapatkan hasil. Jaring yang dilemparkannya ke laut sia-sia belaka. Lemparan pertama ia mendapat bangkai keledai yang yang sudah membusuk, lemparan keduanya mendapat barang pecah belah yang tak berguna, sedangkan lemparan yang ketiga hanya mendapat tembikar yang berisi pasir.

Dengan hati yang putus asa, ia bersenandung:

       Memang rezki tak tentu, kadang terurai kadang terikat

       Seolah tak ada goresan pena yang memberi berkat

       Zaman sering rendahkan mereka yang baik

       Dan mengangkat mereka yang tak berhak

       Duhai mati datanglah kau, hidup ini sialan memang

      Karena burung telah jatuh, dan itik malah terbang

      Seekor burung terbang arungi timur dan barat dunia

      Sedang burung lain mendapat makan tanpa harus kemana-mana

[Disadur dari Hikayat 1001 Malam, Malam ke-3]

Kamis, 05 Maret 2009

Pencarian Makna Hidup Seorang Astrid Darmawan

Kamis, 05 Maret 2009

“Satu pertanyaan yang menggugah saya, mengapa Allah melahirkan saya ke bumi? Padahal Allah tak butuh kita, tak butuh shalat kita. Apakah kita beriman atau tidak, Ia tetap Allah yang Esa. Bahkan ada atau tidak adanya kita, keagungan Allah tak berkurang sedikit pun.”

Astrid Ayudewi Darmawan merasakan kegamangan makna hidupnya. Ia resah justru pada saat semua sudah dicapainya. Bayangkan, di usia yang baru menginjak 20 tahun, penghasilannya sebagai model papan atas mencapai US$3,000 perhari. Secara intelektual, ia termasuk perempuan yang cerdas sehingga bisa kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Selain itu, kepandaiannya bergaul membuatnya dikenal banyak orang ternama.

Namun, kemudahan hidup itu tak membawanya pada ketenangan dan ketenteraman hati. Ia merasa hidupnya kosong. Semua yang dilakukan seharihari hanya menjalankan rutinitas saja. Seperti robot yang tak mengenal makna. Pada titik itulah, akhirnya ia menyerahkan seluruhnya untuk mencari makna hidup. Seluruhnya, termasuk jiwa dan raganya. “Saya rela meski Allah mengambil nyawa saya hari ini, asalkan saya tahu untuk apa saya dilahirkan,” kata perempuan berdarah Sunda, Jawa, dan Belanda ini. Ia sangat yakin, mati dalam usaha mencari kebenaran lebih terhormat dibanding mati karena kontrak tubuhnya sudah berakhir dan Allah tak mau memperpanjangnya. “Mati saat kontrak sudah habis itu namanya mati konyol,” tegasnya.

Kesungguhannya mencari makna hidup membuat ia lebih serius belajar. Banyak buku dibacanya. Ia juga mendatangi pengajian-pengajian dan mendengar uraian para ustad. Tak puas dengan satu buku, ia mencari buku yang lain. Jika belajar pada satu ustad dirasa belum bisa menjawab kegundahan hatinya, tak segan ia datang ke pengajian yang lain dan belajar dari ustad di situ. Belajar dari banyak buku dan ustad, menjadikan mantan atlet nasional itu lebih mengenal Islam. Ia juga mengatakan, “Belajar itu tak boleh berhenti. Tak baik pula kita hanya belajar pada satu guru saja. Itu akan menyebabkan taklit buta.”

Masa Kecil

Astrid dibesarkan dalam keluarga yang heterogen. Keluarga besar dari garis sang ayah adalah penganut Islam, sedangkan keluarga dari Ibu, penganut Katholik. Ia menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Katholik. Tentu kurikulum belajarnya menganut ritual agama Katholik, termasuk ritual misa. Sebenarnya siswa non-Katholik tak diperkenankan mengikuti misa, tapi ia nekat mengikutinya.

Agama Katholik di sekolahnya termasuk Ordo Asisi, salah satu ordo dalam Katholik yang tak mengakui perwakilan Paus sebagai wakil tunggal dalam hubungan hamba dengan Tuhan. Ordo ini juga meyakini bahwa Yesus bukanlah Tuhan, ia hanya pembawa pesan saja.

Astrid sangat terkesan dengan orang-orang di lingkungan agama Katholik yang dikenalnya. Para pastornya baik. Meski setiap hari bergaul dengan mereka, ia tak merasa canggung dengan identitasnya sebagai Muslim. Mereka tetap menghormati keyakinannya, tak sedikitpun mereka memengaruhi dan mengajaknya pindah agama. Namun anehnya, meski ia bersimpati dan hormat kepada mereka, hatinya tetap tak berpaling dari Islam.

Pengalaman ber-Islam didapatkannya di rumah. Ayahnya, Dr. Hariadi Darmawan adalah Muslim yang taat. Setiap Shubuh, Maghrib, dan Isya’, Astrid selalu diajak shalat berjamaah. Seminggu sekali, seorang guru mengaji didatangkan khusus ke rumahnya.

Karena mengenal dua agama lengkap dengan ritual-ritualnya, pemahaman masa kecilnya juga unik. Dulu, ia yakin bahwa Yesus dan Bunda Maria adalah seorang Muslim. Mungkin karena pemahamannya yang seperti itu, tak ada pertentangan dalam hatinya.

Mengenal Rasulullah Saw

Pengalaman Astrid sebagai Muslim semakin intens saat ia rutin mengikuti pengajian seminggu sekali. Setiap Kamis malam, ia mengikuti ceramah seorang ustad. Namun yang menjadi perhatian Astrid dalam pengajian itu bukan doktrin Islam yang disampaikan ustad. Tetapi lebih pada kehausannya untuk lebih mengetahui lebih jauh sosok Nabi Muhammad Saw.

Dalam sistem pengajaran Katholik, cerita tentang kebaikan Yesus dan kemuliaan Bunda Maria begitu dominan. Karena itu ia sangat mengenal keduanya. Ia heran, mengapa pengajian yang diikutinya itu tak menceritakan keagungan Nabi Muhammad Saw? Selain itu ia gerah dengan metode ceramah sang ustad. Sering sekali dalam ceramahnya, ustad menjelek-jelekkan agama dan keyakinan orang lain.

Ia tak puas. Mulailah ia mencaricari. Tak jarang ia keluar masuk dari pengajian yang satu ke pengajian yang lain. Kemudian bertemulah ia dengan sebuah pengajian yang memuaskan dahaganya untuk mengenal Nabi. Ia juga sangat terkesan dengan Fusus al-Hikam, buku karangan Ibn Arabi, yang diberikan ayahnya.

Baginya, Rasulullah Saw adalah guru dari segala guru. Jika ingin selamat di dunia dan akhirat harus belajar darinya, mengikuti seluruh tuntunannya. Jadilah, Nabi Muhammad Saw menjadi figur religius bagi dirinya. Tak heran jika ia membutuhkan figur semacam itu karena pengaruh ajaran Katholik. Bagi kaum Katholik, Yesus menjadi figur sentral dari setiap ajarannya.

Ia yakin, dengan meneladani Rasulullah Saw, ia akan sampai pada tujuan hidupnya, yaitu mengenal Allah. Ia juga percaya akan sampai pada tujuannya itu. “Semua Muslim memunyai potensi yang sama untuk mencapai tujuan itu. Halangan utamanya adalah persepsi kita. Selama kita menganggap tujuan itu mustahil, maka kita tak akan pernah sampai ke sana.”

Ia juga mengatakan, untuk mencapai tujuan itu, kita tak boleh sekali-sekali menyekutukan-Nya. Artinya, fokus tujuan kita hanya kepada Allah, bukan yang lain. Sering sekali dalam doa, kita memaksakan keinginan kita, minta ini dan itu. Tujuan yang sebenarnya terlupakan.

Perjalanan Karir

Setelah tamat Sekolah Menengah Atas, ia diterima di jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia. Kemudian ia lanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun di tingkat pasca sarjana, ia lebih tertarik di bidang bisnis. Karena itu, ia lebih memilih jurusan Bisnis International di perguruan tinggi yang sama.

Ia masuk dunia modeling sejak usia 12 tahun. Debut pertamanya ketika menjadi model di majalah SPORTIF. Tahun 1985 sampai 1995 Astrid menjadi model profesional. Astrid juga pernah berkecimpung di bidang olahraga, khususnya renang. Ibu dua anak ini pernah menjadi atlet renang nasional pada kejuaraan se-Asia Tenggara. Pernah juga mewakili daerahnya bertanding di Pekan Olahraga Nasional.

Saat ini, Astrid merintis karir di bidang perbankan. Ia masuk ke Bank DKI Syariah, dan dipercaya megang jabatan sebagai Pimpinan Cabang Bank DKI Syariah Cabang Pondok Indah I.

Di sela-sela aktivitasnya sebagai perempuan karir dan mengurus keluarga, ia menyempatkan diri untuk menulis. Buku pertamanya pun lahir, Al-Qur’an, The Ultimate Secret terbitan Ufuk Press. Saat ini, ia sedang menyiapkan penerbitan buku keduanya. Apa isi buku keduanya itu? “Tak lucu jika saya ceritakan sekarang,” ujarnya sambil tersenyum. « [imam dan esthi]

----------------------------------------------------------------
Alhamdulillah it's Firday Edisi 18
"Akhlak Sang Nabi"

----------------------------------------------------------------

Senin, 02 Maret 2009

Pekerjaan

Senin, 02 Maret 2009
Saya heran saat pertama kali melihat polisi cepek di Surabaya. Ada-ada saja yang dilakukan orang untuk mencari uang. Polisi cepek? itu lho orang yang membantu pengendara mobil putar balik atau menyeberang jalan. Maklum di kampung dulu tak terbayang jenis pekerjaan semacam itu.

Saya lebih heran lagi saat beberapa bulan tinggal di sekitar Jakarta. Ada orang yang tiap malam kerjaannya nongkrong di atas jembatan, menunggu genset untuk lampu penerang reklame. Jenis pekerjaan ini tak mungkin saya temui di kampung saya.

Ya, setiap orang perlu bekerja agar kelangsungan hidup diri dan keluarganya terjamin. Lebih-lebih bagi kaum laki-laki, bekerja adalah kebutuhan sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga.

Apabila kebutuhan untuk bekerja ini dihubungkan dengan pemberi pekerjaan alias pemilik modal atau pengusaha, sebenarnya siapakah yang membutuhkan, pengusaha atau pekerja? Kalau jawaban teman-teman keduanya saling membutuhkan, itu sama dengan apa yang saya pikirkan.

Tapi, ada salah satu pengusaha, pemilik modal besar, yang merasa (lebih tepatnya dianggap) berjasa karena mempekerjakan ribuan karyawan. Bahkan ia disebut lebih nasionalis dibanding Wimar karena banyak menolong rakyat yang butuh pekerjaan.

Logika semacam itu dipakainya untuk mendapat dana pinjaman pemerintah karena saat ini perusahaannya kembang kempis diterjang krisis global. Ia merasa layak mendapatkan fasilitas itu dengan alasan, agar banyak rakyat terselamatkan.

Saya kok agak janggal dengan logika itu. Saya bisa mengerti kalau pengusaha itu memang benar-benar memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Tidak mengupah mereka pada batas minimal (UMR) dan tidak mengorbankan karyawan pertama kali saat terjadi krisis.

Siapakah pengusaha itu? Silahkan baca sendiri di perspektif.net plus diskusi yang melingkupinya. <<

Catatan: Gambar pinjam dari Clipart ETC

12duadua © 2014