Pages

Selasa, 19 Februari 2008

Yang Modern dan Tradisional

Selasa, 19 Februari 2008
Telepon genggam saya berdering, ada pesan masuk dari Icha, isinya "mas kemana aja, lama nggak mampir". Memang sudah hampir satu tahun saya tidak berkunjung ke sana, biasanya seminggu sekali saya sempatkan mengunjunginya. Tadi malam saya berkunjung untuk makan malam. Icha itu nama depot kaki lima di sekitar Kopertis Surabaya.

Tidak saya sangka, pemilik depot menyambut saya dengan gembira, layaknya saudara yang lama tidak berjumpa. Senyumnya sapanya yang khas dan keramah-tamahannya sangat menyejukkan. Saya memesan dorang goreng, nasi putih dan teh panas.

Sambil makan, saya ngobrol dengannya. Meski harus melayani pelanggan yang banyak, perhatiannya tidak berkurang pada saya, tentu bergantian dengan pelanggan-pelanggannya yang lain. Saya tanya kabar keluarganya, begitu juga Ia. Sekarang Ia tidak perlu mengontrak rumah lagi, Ia membeli rumah meskipun kecil, "Saya tidak bisa membeli rumah yang jauh mas, soalnya kalau jualan seperti ini ribet, banyak barang kecil-kecil, kalau ketinggalan bisa cepet ngambilnya. Jadinya ya dapatnya rumah yang kecil, lha wong disini rumah sudah mahal."

Sapanya lewat sms (kadang juga telpon), keramahannya di depot dan suasana kekeluragaan saat makan membuat saya seperti makan di rumah saudara saya sendiri. Perlakuan itu tidak hanya pada saya, pelanggan yang lain juga terlihat akrab dengannya. Kadang Ia berkomentar, "wah saya pangling ke sampeyan, habis penampilannya baru sih," kepada saya Ia bilang, "mas sampeyan kelihatan lebih muda". "Hahahaha...." saya terbahak, "sampeyan bisa aja cak."

Saya pikir inilah management pelanggan. Meski hanya dengan bantuan telepon genggam, pemilik Depot Icha, sudah bisa mengelola pelanggannya. Ia tahu mana pelanggan yang sering dan jarang berkunjung. Ia juga tahu, walau mengandalkan ingatannya, latar belakang keluarga, usia dan pekerjaan pelanggannya.

Saya kagum dengannya, darimana ia punya gagasan seperti itu. Apakah Ia pernah mengikuti training Customer Relationship Management (CRM)? Depot pinggir jalan itu dikelola seperti restoran modern.

Selesai makan, saya berpamitan. Dengan keramahan pula Ia menyampaikan ucapan terima kasih dan berharap saya datang berkunjung kembali di lain waktu.

Dari Depot Icha saya pergi ke minimarket. Saya kaget sekali saat membuka pintu. Ada salam selamat datang, tapi saya cari-cari siapa yang mengatakan tidak ada yang menoleh pada saya. Saya pergi ke rak yang berjajar rapi, mecari barang yang saya butuhkan. Terdengar lagi ucapan selamat datang disertai dengan yel-yel promosi, "mau sepeda motor? belanja saja disini!"

Setelah beberapa saat saya amati akhirnya saya tau, yang mengatakan selamat datang itu kasir yang ada di depan dan yang menyahut dengan yel-yel itu para karyawan di dalam toko.

Tapi saya tidak terkesan sama sekali dengan sapaan itu. Cara mengucapkannya asal-asalan, juga tidak jelas ditujukan ke siapa. Karyawan di dalam toko pun seperti robot yang kalau dipencet tombolnya akan berbunyi. Masih mending robot yang suaranya keras, karyawan-karyawan ini loyo, yel-yel itu diucapkan seperti bergumam.

Saya yakin, karyawan minimarket ini pernah mendapat training, setidaknya mendapat arahan dari atasannya. Pernah saya mengetahui minimarket semacam itu, manager toko setiap pagi memberi arahan kepada karyawan yang bertugas hari itu. Tapi, kenapa rasanya hambar ya?

Senin, 18 Februari 2008

Anak Yang Tidak Diinginkan Lahir

Senin, 18 Februari 2008
Apa yang kita rasakan ketika mengetahui bahwa kehadiran kita di dunia ini sebenarnya tidak diinginkan oleh kedua orang tua kita? Kehamilan ibu saat mengandung kita sebenarnya tidak direncanakan. Marah atau sedihkah? Saya sendiri tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Mungkin akan marah, kecewa, sedih, merasa tidak berguna atau campuran dari semuanya. Bisa juga malah pasrah dan bertekat akan membuktikan bahwa kehadiran kita mempunyai arti.
 
Pertanyaannya bisa juga dibalik, sebagai orang tua, apakah sebenarnya kita menginginkan kelahiran anak kita? Apakah anak kita itu buah dari cinta dan kasih sayang atau hanya sekedar akibat dari rencana yang gagal? Entah anak kita yang mana, pertama, kedua atau kesebelas mungkin.
 
Kenyataannya, memang banyak kelahiran yang tidak diinginkan. Badan Kesehatan Dunia memperkirakan ada 38 persen dari 200 juta kehamilan pertahun merupakan kehamilan yang tidak diinginkan (Kompas,15 Februari 2008). Kehamilan tersebut bisa jadi karena gagal kontrasepsi atau salah melakukan penghitungan waktu subur bagi yang sudah menikah. Bisa juga karena hamil diluar nikah, hubungan gelap dan lain sebagainya.
 
Pasti lebih banyak yang karena hamil diluar nikah atau akibat hubungan gelap? Jangan salah, 87,1 persen kehamilan yang tidak diinginkan tersebut adalah dari pasangan yang sudah menikah. Artinya kehamilan itu lebih banyak karena gagal perencanaan keluarga. Istilah umumnya karena "kebobolan".
 
Yang lebih menyedihkan lagi, ada usaha-usaha untuk menghentikan kehamilan alias aborsi. Alasannya bermacam-macam, ada yang karena faktor ekonomi, sudah banyak anak atau karena anak sulungnya/kakaknya masih terlalu kecil. Angkanya cukup fantastis, dua pertiga kehamilan yang tidak diinginkan dihentikan dengan sengaja, 40 persennya dilakukan dengan tidak aman dan karena itu menyumbang 50 persen dari kematian ibu.
 
Membangun keluarga di jaman sekarang berbeda dengan jaman kakek-nenek kita dahulu. Dulu masih banyak sumber daya yang tersedia, bahan makanan tinggal metik dari kebun belakang rumah, sawahpun masih tersedia luas, cukup untuk menyediakan beras untuk konsumsi keluarga sampai musim panen berikutnya. Tidak perlu bingung punya banyak anak. Banyak saudara di sekitar kita yang membantu merawatnya, bahkan tetanggapun bersedia dimintai tolong dengan sukarela menjaganya.
 
Sekarang sudah berubah. Banyak keluarga muda yang jauh dari induk semangnya. Entah karena tuntutan pekerjaan atau sebab-sebab yang lain. Urusan membangun keluarga tergantung sepenuhnya pada keluarga muda itu sendiri. Mempunyai anak memerlukan pengaturan sumber daya yang ada, termasuk anggaran belanja keluarga. Jadi punya anak harus direncanakan.
 
Yang menjadi masalah jika rencana itu gagal, apakah kehamilan harus dihentikan? Ya kalau menurut yang 38 persen itu, kehamilan boleh dihentikan. Tapi secara moral dan agama tentu itu tidak dibenarkan.
 
Lantas bagaimana? Ninuk Widyantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan, berpendapat perlu ada upaya konseling atau pendampingan pada perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan agar tidak terjadi resiko aborsi atau untuk menjaga kesehatan dan pertumbuhan janin yang dikandungnya. Biasanya pada kasus semacam itu, anak yang dilahirkan tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
 
Saya ingat sebelum nikah dulu, saya mendapat nasehat dari seorang teman yang sudah lebih dulu menikah, "jangan kamu bayangkan setelah menikah akan bisa kamu jalani kehidupan ini sendirian, hanya dengan istrimu saja. Bagaimanapun kamu pasti akan membutuhkan orang tuamu dan orang-orang terdekatmu, termasuk juga teman dan sahabat-sahabatmu."
 
Saya kira, nasehat teman saya itu benar sekali. Setelah kita menikah pastilah kita masih membutuhkan orang lain untuk membantu membangun keluarga kita, ya minimal bantuan nasehat atau tukar pengalaman. Kalau tidak orang tua kita sendiri, ya teman dan sahabat dekat kita. Teman atau sahabat bisa menjadi pendamping dalam membangun keluarga, syukur kalau saling membantu dalam urusan materi.

Jumat, 15 Februari 2008

Decorum Publicum (Tata Krama Publik)

Jumat, 15 Februari 2008
Saya tertarik sekali menyimak kasus sampul majalah Tempo edisi 4-10 Februari yang lalu. Karena ketertarikan itu, kemudian saya melakukan dudah-dudah di internet untuk mengetahui bagaimana kasus itu terjadi dan apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran. Saya berpegang bahwa setiap peristiwa yang terjadi, yang sempat saya ketahui, mengandung pesan agar saya mempelajarinya dan mengambil hikmah darinya. Saya yakin hikmah itu akan berguna untuk kehidupan saya kelak dikemudian hari.
 
Masalah majalah Tempo itu adalah karena sampulnya mirip dengan The Last Supper, lukisan karya Leonardo da Vinci. Dan memang, menurut Kendra Paramita sang ilustrator, sampul tersebut dibuat karena terinspirasi The Last Supper.

Sejumlah orang, yang mengaku sebagai perwakilan umat Katolik, mendatangi kantor majalah Tempo untuk mempertanyakan sampul majalah itu. Para perwakilan tersebut menilai bahwa sampul itu menyinggung perasaan umat Katolik karena menyamakan posisi Yesus dalam The Last Supper dengan posisi Soeharto dalam ilustrasi sampul Tempo.

Ternyata cukup beragam tanggapan terhadap masalah protes-memprotes ini. Ada yang mendukung perwakilan umat Katolik. Tempo tidak semestinya membuat ilustrasi tersebut karena Thel Last Supper sudah menjadi lukisan yang mempunyai makna religi bagi umat Katolik.
 
Tetapi ada juga umat Kristiani yang merasa tidak terwakili oleh pemrotes. The Last Supper hanyalah sebuah lukisan, sebuah karya seni, bukanlah peristiwa suci itu sendiri. Dan setiap orang berhak mangapresiasi dan menafsirkan karya seni tersebut. Belum tentu juga penggambaran da Vinci itu tepat seperti yang terjadi pada perjamuan terakhir Yesus, da Vinci hanya mereka-mereka saja. Jadi tidak perlu umat Kristiani merasa tersinggung dengan sampul itu.
 
Selain masalah tersinggung atau tidak tersinggung, muncul juga dalam sebuah diskusi, kasus sampul Tempo itu, sedikit banyak masuk dalam dimensi bisnis. Masalah yang kontroversi biasanya menjadi senjata yang sangat ampuh meraih popularitas. Orang justru akan mencari-cari sesuatu yang dianggap bermasalah. Terbukti, setelah kasus itu merebak, Tempo sudah sulit ditemukan di pasaran karena sudah habis.
 
Yang menurut saya paling menarik adalah tanggapan dari seorang imam Katolik yang juga ahli filsafat. Tanggapan ini dikirim oleh salah seorang anggota milis Jaringan Islam Liberal (JIL).

"Soal cover TEMPO bukan soal hukum, tapi soal rendahnya "decorum publicum"
(bhs Latin untuk 'tata-krama publik'). Karena tata-krama publik adalah
cerminan selera kultural, rendahnya tata-krama publik adalah ungkapan selera
kultural yang rendah. Dan karena selera kultural adalah cerminan mutu
intelektualitas, maka rendahnya tata-krama publik cover TEMPO adalah
cerminan rendahnya intelektualitas TEMPO. Lugasnya cover itu adalah soal
kebodohan dan rendahnya intelektualitas TEMPO, bukan soal hukum. Tentu saja
kebodohan tidak bisa diperkarakan secara hukum. Tetapi untuk media yang mau
menjaga intelektualitas, kebodohan tentu lebih memalukan daripada kasus
hukum."

Memang bagaimanapun kita hidup ditengah-tengah masyarakat. Daniel Goleman, pengarang buku Social Intelligence, The New Science of Human Relationship, menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia tercipta untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Berhubungan dengan orang lain bukan saja karena manusia memang membutuhkan hubungan tersebut agar tetap bisa bertahan hidup, tetapi memang sifat dasar manusia yang suka untuk berinteraksi dengan orang lain.

Imam Katolik diatas benar, majalah Tempo seharusnya memperhatikan masalah tata krama publik. Harus berfikir beberapa kali untuk memuat sampul tersebut karena penggambaran kembali The Last Supper adalah masalah sensitif bagi sebagian orang. Kebebasan pers memang sangat diperlukan dalam negara demokrasi sebagai kekuatan pengontrol pemerintahan. Pers diperlukan juga sebagai sarana penyebar informasi sekaligus melakukan proses pembalajaran masyarakat.

Namun demikian kebebasan itu tidak berarti bebas yang sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tetap mempunyai batas yaitu kebebasan orang lain, etika dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Diperlukan suatu kecerdasan untuk berekspresi, menjalankan kebebasan dalam masyarakat.

Semoga kasus sampul majalah Tempo dan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi dapat meningkatkan kecerdasan kita dalam berekspresi agar kita mempunyai selera kultural yang tinggi sebagai cerminan tingginya tingkat intelektualitas kita.

Senin, 11 Februari 2008

Chairil Anwar, Sebuah pertemuan

Senin, 11 Februari 2008
Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Arief Budiman
Siapa yang tidak kenal Chairil Anwar? Seorang penyair besar pada jamannya, dan sampai saat ini pun karya-karyanya selalu menjadi bahan kajian yang menarik. Memahami sekumpulan sajak Chairil, membuat kita bisa melihat pandangannya terhadap berbagai macam hal di sekelilingnya dari waktu ke waktu.

Buku, Chairil Anwar, Sebuah pertemuan, mengajak kita memahami sajak-sajak Chairil secara berurutan dari yang pertama ditulis sampai yang terakhir. Dari pemahaman yang berurutan tersebut bisa diketahui perkembangan pandangan dan gejolak batin yang dialami Chairil.

Di babak pertama perjalanan karir sastranya, Chairil menghadapi kenyataan, Ia ditinggal neneknya meninggal dunia. Kenyataan itu membawa Chiril pada sebuah pertanyaan filosofis tentang kehidupan. Untuk apa hidup ini kalau pada kahirnya akan mati. Apa artinya harapan, cita-cita dan keinginan toh pada akhirnya semua sia-sia.

Bagi Chairil hidup bagaikan sebuah pematang yang menahan dentuman gelombang laut yang dalam. Untuk apa pematang selalu dipertahankan toh pada akhirnya akan hancur tidak kuasa menahan gelombang. Pematang akan sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

Kemudian Ia bertemu sosok pahlawan legendaris, Pangeran Diponegoro. Dia melihat Diponegoro begitu bergairah mempertahankan hidup tanpa rasa takut. Dalam sajak Diponegoro ia mengatakan
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

Dalam hidup Diponegoro, ada sesuatu yang diperjuangkan. Sesuatu itu adalah kemerdekaan, hidup terbebas dari belenggu penjajahan. Bagi Diponegoro, kemerdekaan lebih penting dari hidup itu sendiri. Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup harus diisi dengan arti. Hidup akan cukup berbahagia kalau dia punya arti, meski arti itu hanya kita berikan satu kali.

Di sini, Chairil dihadapkan pada dua pilihan hidup. Menjalankan hidup sebagaimanan adanya, hidup berjalan menyusuri waktu. Karena memang, kehidupan itu sulit untuk dipahami dan karena manusia tidak berdaya, lemah menghadapi sang maut. Atau hidup dengan mengikatkan diri dan berpegang pada sebuah prinsip yang harus diperjuangkan meski mati menjadi akhirnya seperti kehidupan Diponegoro.

Setelah memikirkan masak-masak akhirnya Ia memilih untuk menjalankan hidup sebagaimanan adanya. Ia tidak mau mengikatkan diri pada sesuatu. Ia tahu, pilihan ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi, hidup dalam kesendirian dan kesepian, hidup tanpa idialisme, kering kerontang tanpa warna. Ia selalu konsiten dan teguh pada pilihannya, meski kenistaan yang ia terima.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Penderitaan demi penderitaan Ia alami. Hingga suatu saat ia menyerah, mengikatkan diri pada harapan dan cita-cita seorang religi.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sugguh
mengingat Kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Penyerahan itu hanya untuk sementara. Chairil kembali pada pilihannya yang pertama, hidup mengembara, layaknya Ahasveros, tanpa rumah dan tempat kembali.

Sebuah pertemuan, memang menjadi jembatan antara sang maestro dengan pembacanya. Membaca buku ini seolah membawa kita lebih dekat padanya. Seperti menyelam di samudra makna sebuah sajak, meski pada dasarnya kita tidak bisa atau sulit memahami sajak.

Kamis, 07 Februari 2008

Komik Kuark

Kamis, 07 Februari 2008
Jangan menyuruh orang memanjat kelapa, tapi beritahu Ia kalau minum air kelapa muda itu sangat menyegarkan.

Jangan menyuruh orang untuk mengerjakan sesutu, beri motivasi, Ia akan mengerjakan pekerjaan itu dengan sendirinya dan dengan bahagia.

Di rumah, saya menemukan komik milik keponakan saya yang kelas lima SD, isinya tentang ilmu pengetahuan, namanya Kuark. Sekilas nama itu mirip dengan "quark" partikel terkecil pembentuk proton dan neutron dalam ilmu fisika partikel. Setelah dilihat, memang komik ini dibimbing oleh Yohanes Surya, pencetak kader fisikawan Indonesia.

Kuark sangat menarik. Banyak ilmu yang bisa dipelajari disitu, tidak hanya fisika saja, ada biologinya, elektronika, ilmu perbintangan dan yang menurut saya paling menarik, ada biografi singkat tentang tokoh ilmu pengetahuan. Kebetulan yang sedang saya baca, ada cerita tentang Blaise Pascal, penemu prinsip hidrodinamika itu.

Cerita dalam komik ini di dibuat sesuai dengan kehidupan yang dialami anak sehari-hari. Misalnya cerita tentang Pascal diawali ketika Rhon (salah satu tokoh dalam komik) dijemput kakaknya sepulang sekolah. Mereka tidak langsung pulang tetapi mampir dulu ke bengkel. Nah, disaat melihat dongkrak yang mengangkat mobil, cerita tentang Pascal dan hidrodinamika masuk. Sangat nyaman sekali untuk dibaca.

Saya teringat sewaktu seusia keponakan saya, komik menjadi barang terlarang yang harus dijauhi. Harus sembunyi-sembunyi kalau ingin membacanya. Sekarang, pelajaran sekolah malah dikomikkan.

Ini langkah yang sangat bagus . Mememuhi kesenangan anak untuk membaca komik tetapi dengan tidak meninggalkan pelajaran sekolah. Cara ini, jauh lebih memudahkan anak untuk memahami pelajaran sekolah dibandingkan membaca buku pelajaran. Dan memang benar, keponakan saya bilang kalau Ia menjadi tahu dan memahami lebih banyak hal setelah membaca beberapa seri Kuark.

Komik Kuark ada beberapa level sesuai dengan tingkatan kelas di SD. Level satu untuk SD kelas 1 dan 2, level duanya untuk kelas 3 dan 4, sedangkan level tiga untuk kelas 5 dan 6. Ada jug level "pra-sain" untuk anak-anak pra sekolah.

Kalau sudah begini, tidak usah menyuruh anak untuk belajar, Ia akan belajar dengan sendirinya dan yang lebih penting Ia menyukainya.

Rabu, 06 Februari 2008

Masjid dan Tidur Siang

Rabu, 06 Februari 2008
Setiap kali saya menjumpai masjid selalu ada rasa kesejukan disitu. Secara nalar mungkin bisa diterangkan. Biasanya pelataran masjid itu luas dengan banyak pintu di samping kanan, kiri dan depannya. Angin dengan leluasa bisa masuk sehingga ada pergantian udara di dalam masjid. Jadilah udara yang kita rasakan selalu segar. Ditambah lagi atapnya yang tinggi, panas matahari yang diserap atap tidak sampai memanaskan ruangan.

Hal yang sama juga saya rasakan di Muhajirin, masjid dekat kantor saya. Karena kesejukannya itu banyak sekali jamaah yang menyempatkan diri tidur-tiduran setelah sholat dzuhur. Termasuk juga Amin, pedagang roti keliling. Saya selalu menjumpainya saat sholat dzuhur dan ashar. Rupanya selama antara dzuhur dan ashar itu Ia tidur. "Kalau siang pembelinya sepi Mas, mendingan istirahat disini" katanya suatu saat kepada saya.

Selain Amin, masih banyak lagi yang memanfaatkan masjid untuk tidur siang atau sekedar duduk-duduk. Masalahnya, bagaimana menjaga kesucian masjid dari najis yang dikeluarkan saat orang sedang tidur? Kalau dilarang, jamaah pasti berkurang, masjid jadi sepi.

Untunglah takmir Muhajirin tidak melarangnya, tetapi menyediakan tempat khusus bagi mereka yang ingin tidur atau istirahat siang. Tempatnya di serambi sebelah utara. Dengan dilokalisir seperti itu, mudah untuk dibersihkan, tempatnya juga sedikit tertutup sehingga terkesan rapi jika dilihat dari jalan depan masjid. Saya juga sering memanfaatkan tempat itu saat pikiran lagi suntuk di kantor.

Masjid-masjid di pinggir jalan, terutama jalan besar penghubung antar kota, sangatlah berguna. Selain untuk mampir sholat, juga untuk tempat istirahat sebentar menghilangkan rasa lelah. Sungguh mulia pemilik masjid di pinggir jalan ketika membangun masjid diniatkan untuk melayani para pejalan jauh itu.

Yang menyebalkan ketika saya dalam perjalanan ke luar kota menjumpai masjid yang semuanya pintunya terkunci rapat. Juga dengan pintu kamar mandinya. Padahal saya ingin buang hajad dan sholat di masjid itu. Dengan sedikit kesal saya mencari masjid kembali. Ya, mungkin pengurus masjid itu tidak ingin ada pencuri masuk dan menjarah peralatan-peralatan yang ada di dalam masjid.
12duadua © 2014