
Saya kaget, ternyata pengemudinya adalah Pak Sarni. Dulu, semasa SD, Ia berjualan mainan di depan sekolah. Mainan-mainan dagangannya dibuat sendiri dengan barang bekas seperti kardus dan kaleng bekas. Tidak banyak pembelinya karena tersaingi mainan-mainan toko dari plastik.
Sejak lulus SD sampai saya kuliah, tidak pernah lagi bertemu dengannya. Kabarnya Ia tidak lagi menjual mainan, tapi makanan kecil yang juga hasil buatannya sendiri. Ibu bilang, Pak Sarni selalu berganti-ganti dagangan, waktu anak-anak sedang gandrung dengan cilok (bakso kecil-kecil), Ia pun membuat dan menjualnya.
Setahun yang lalu, saya bertemu dengannya. Ia menjadi tukang becak. Saat itu, becak masih menjadi kendaraan baru di kampungku. Jumlah becak yang beroperasi bisa dihitung dengan jari tangan, termasuk becak Pak Sarni. Kata Ibu, Pak Sarni memang kreatif, begitu ada peluang langsung disambutnya.
Terakhir bertemu dengannya ya Minggu kemarin. Usahanya sekarang mengoperasikan becak goyang. Setiap sore Ia keliling kampung, mendatangi tempat anak-anak berkumpul. Pelangannya banyak juga, termasuk anak saya ketika kami pulang kampung.
Usaha kreatif memanfaatkan peluang tidak seiring dengan perubahan nasib Pak Sarni. Masih saja Ia hidup di bawah garis hidup yang layak. Himpitan ekonomi masih bertahan membelenggunya. Tapi kesulitan itu tidak membuatnya bermuka masam, selalu ceria, bercanda dengan anak-anak pelanggannya.
"Mari Mas, Saya mau ke alun-alun, sudah ada yang menunggu di sana", Pak Sarni berpamitan setelah 3 lagu diputarnya.
Sampai bertemu kembali Pak Sarni. Entah usaha apa lagi yang akan Pak Sarni jalani ketika bertemu nanti, yang penting semoga nasib Bapak cemerlang, seperti cemerlangnya pikiran bapak.

3 komentar: