
Waktu SMA saya mempunyai teman yang menurut saya sangat jenius, langganan ranking pertama di kelas. Mata pelajaran matematika, fisika dan kimia dikuasainya dengan baik, jauh diatas rata-rata kemampuan kami. Yang lebih mengagumkan, Ia berasal dari daerah terpencil di sisi selatan kota saya, yang ketika malam harus belajar di pos kamling untuk mendapat penerangan listrik.
Kenyataan itu membuktikan bahwa belum tentu anak kota lebih pintar dibanding anak desa. Jika anak desa diberi kesempatan yang sama untuk belajar dan dimudahkan mengakses informasi, mereka akan mempunyai kemampuan yang sama, bahkan bisa melebihi anak kota. Teman-teman kuliah saya, yang mempunyai kemampuan diatas rata-rata sebagian besar juga berasal dari daerah.
Masih ingat kisah Andrey Sakharoov Awoitauw, pemenang mendali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN) tahun 2005 bidang matematika asal Papua ? Saat pertama kali Prof. Yohanes Surya bertemu dengannya, Ia bukanlah anak yang pintar, bahkan Ia kedodoran saat diminta menghitung 1/2 ditambah 1/3, jawabannya 1/5. Tentu jawaban itu bukan level jawaban siswa SLTP di sekolah-sekolah favorit di Jawa.
Tetapi kesempatan untuk belajar bersama Prof. Yohanes Surya merubahnya menjadi anak yang brillian. Ia mengalahkan juara dunia olimpiade matematika dan berhasil mendapatkan medali emas.
Saat ini di seluruh dunia terdapat kurang lebih dua miliar anak dari negara-negara sedang berkembang dan negara miskin tidak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan banyak yang tidak mendapatkan pendidikan sama sekali. Anak-anak itu terjebak dalam pergulatan negara yang berusaha mentas dari keterpurukan ekonomi.
Di negara-negara tersebut, pendidikan bukanlah prioritas yang utama. Dana yang dialokasikan untuk pendidikan sangat kecil, kurang dari $ 20 peranak pertahun. Bandingkan dengan dana yang dialokasikan pemerintah Amerika Serikat untuk pendidikan, $ 7.500 peranak pertahun.
Professor Nicholas Negroponte memandang keadaan ini tidak adil. Lingkaran setan ini harus diputus, setiap anak harus mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama, sehingga mereka mampu memaksimalkan potensi yang ada.
Tahun 2002, Negroponte memperkenalkan gagasan One Laptop per Child (OLPC), sebuah program komputer jinjing murah bagi anak-anak di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Tujuannya, agar mereka mendapat akses yang cukup untuk pendidikan.
Pada awalnya program ini mendapat banyak cemoohan. Boss Intel mengatakan bahwa komputer jinjing seharga $ 100 adalah mainan. Ada juga yang meragukan dari sisi teknis karena spesifikasi hard disk yang kurang. Sebagian yang lain memandang, negara-negara itu lebih membutuhkan sanitasi dan air bersih dibandingkan komputer jinjing.
Namun berbagai cemoohan itu dijawab Negroponte, "Ini adalah proyek pendidikan dan bukan proyek komputer".
Karena keteguhannya dan seiring dengan perubahan waktu, mereka yang dulu mencemooh akhirnya ikut bergabung. Di bulan July yang lalu, Intel siap bergabung bersama Negroponte.
Bisa dibayangkan bagaimana wajah dunia ketika OLPC bisa mewujudkan mimpinya, menjadikan seluruh anak di dunia mendapat pendidikan dan akses informasi yang layak.
Sumber inspirasi :
1. Laptop murah mulai diproduksi
2. Mencetak Juara
Gambar dipinjam dari BBCIndonesia
3 komentar: