Pages

Rabu, 18 Oktober 2006

Misteri Rezeki

Rabu, 18 Oktober 2006

Tadi malam saya bersama istri berbuka puasa di luar. Anak saya sudah mudik duluan, dijemput neneknya kemarin, tanggung mau masak sendiri. Beberapa kali kami berembuk untuk menentukan menu makanan, dan beberapa kali juga kami mlongo karena warung tutup atau sedang ramai. Baiklah, kami memutuskan untuk jalan saja dulu, menu makanan kita pilih sambil jalan. Sampailah kami di depan sebuah warung. Sudah lama kami tidak makan di warung itu, akhirnya kami berhenti dan makan di warung itu.

Sambil makan kami ngobrol. "Memang sudah menjadi rezeki warung ini. Pemberi Rezekilah yang membawa kita sampai di warung ini" kataku. Ya itulah misteri rezeki. Rezeki sudah ada yang menentukan. Manusia hanya berusaha, mencarinya sekuat tenaga, tapi yang menetapkan ya Sang Pemberi Rezeki sendiri.

Suatu saat untuk menghidupi keluarganya, Bibi saya ingin mendirikan warung klontong. Suaminya meninggal beberapa bulan sebelumnya. Ada rasa kawatir di benak Bibi saya. Sudah banyak warung klontong yang berdiri satu jalan dengan rumahnya, malah ada yang sudah terkenal dan besar. Tapi Bibi saya tetap jualan, selain tidak punya keahlian lain, Bibi saya sudah tua, jadi tidak kuat bekerja terlalu berat. Mulanya memang sepi, setelah beberapa bulan mulai ada yang membeli, satu dua orang. Dan sekarang, Bibi saya sudah punya pelanggan. Apakah warung-warung lama berkurang ramainya ? Ternyata tidak, mereka punya pelanggan sendiri-sendiri. Rezeki memang sudah ada yang mengatur.

Kalau rezeki itu sudah ada yang mengatur, mengapa kita masih diwajibkan untuk berusaha mencarinya ?

AA Gym pernah mengatakan, ada rezeki yang diberikan Allah tanpa harus mencarinya, sudah tersedia melimpah di alam, tinggal mengambilnya saja. Udara yang kita hirup dan panas matahari contohnya. Di beberapa tempat, air bersih juga rezeki yang melimpah. Ada juga rezeki yang kita dapatkan setelah kita berusaha mencarinya, jika tidak berusaha mencarinya, rezeki itu tidak akan kita dapatkan.

Lalu, ada orang yang sudah berusaha mati-matian mencari rezeki tetapi tidak didapatkannya atau hanya mendapatkannya sedikit, nah untuk apa berusaha ?

Sayangnya, dunia ini tidak disusun berdasarkan konsep hitam dan putih, tetapi tersusun berdasarkan konsep probabilistik. Banyak ketidakpastian yang terjadi di dunia ini. Kita belajar dengan sungguh-sungguh karena besok akan ujian. Apakah dengan belajar sungguh-sungguh itu, kita pasti bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan besok dengan benar ? Tidak bukan. Belajar itu memperbesar kemungkinan kita bisa mengerjakan soal ujian dengan benar. Katakanlah, dengan belajar sungguh-sungguh, 99% kita bisa mengerjakan soal ujian itu dengan benar.

Begitu juga misalnya kita berdagang di pasar. Kita berjalan mengelilingi pasar dan berteriak-teriak menawarkan barang dagangan kita. Tentu, usaha itu akan memperbesar kemungkinan dagangan kita habis terjual. Bandingkan jika kita berdiam diri di rumah, siapa yang mau beli dagangan kita ? Mungkin ada, tapi kecil sekali kemungkinannya bukan ?.

Nah....terakhir saya ingin berbagi cerita dari keluarga Ali bin Abi Tholib dan Fatimah binti Rosulullah yang patut kita tauladani tentang bagaimana mereka menyikapi rezeki yang diberikan Allah kepada mereka.

----------------------------------------

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyabut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun."Fatimah menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala."

"Terima kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih.Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama'ah. Sepulang dari sembahyang, di jalan ia dihentikan oleh seorang tua. "Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" Áli menjawab heran. "Ya betul. Ada apa, Tuan?''

Orang tua itu merogoh kantungnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya."Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.Ali pun bergegas berangkat ke pasar.

Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, "Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan."

Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.Fatimah, masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."

----------------------------------------

Gambar diambil dari : galerikeadilan.net






18 komentar:

12duadua © 2014