Pages

Senin, 28 Agustus 2006

Menjadi Ilmuan ? Belajarlah Menerima Kebenaran Orang Lain.

Senin, 28 Agustus 2006


Tidak mudah memang menjadi ilmuan, selain harus punya etos kerja yang
tinggi, punya ketelatenan dan punya semangat yang prima untuk
mempelajari sesuatu, seorang ilmuan juga harus punya jiwa yang besar
ketika suatu saat nanti teori yang dikembangkannya (ditemukannya) tidak
dipakai lagi (gagal) karena ada teori baru yang lebih menunjukkan
kebenarannya.



Hari Kamis kemarin (24/08/06) para Pekerja Astronomi Internasional (IAU) memutuskan untuk mencoret Pluto
dari deretan planet dalam tata surya kita. Kini Tata Surya dengan Matahari sebagai pusatnya hanya mempunyai 8 planet saja
(Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus dan Uranus).



Pluto ditemukan pada 18 Februari
1930 oleh seorang astronom dari Amerika, Clyde William Tombaugh
(February 4, 1906 – January 17, 1997). Pada saat itu Tombaugh menemukan
sebuah objek yang bergerak (moving object) dari foto-foto yang
diambilnya pada 23 dan 29 Januari tahun yang sama. Berita penemuannya
itu kemudian dikirimkan ke Harvard College Observatory pada 13 Maret
1930.



Setelah lebih dari 70 tahun akhirnya status Pluto direvisi menjadi
planet kerdil. Persatuan Astronomi
Internasional merumuskan ulang definisi palnet. Setelah melalui
perdebatan yang sengit, definisi planet disepakati. Menurut definisi
yang baru tersebut, benda-benda luar angkasa yang dapat disebut planet jika
memenuhi syarat-syarat :



  1. Mengorbit ke Matahari


  2. Memiliki massa yang cukup untuk bergravitasi sendiri sehingga memiliki bentuk yang relatif bulat.


  3. Tidak membagi orbitnya dengan benda-benda lain yang berukuran relatif sama besarnya selain satelitnya sendiri.



Pluto tidak memenuhi syarat yang ketiga karena pada orbit pluto masih
ada benda angkasa lain yang termasuk kelompok Trans Neptunus. Dengan demikian, buku-buku ilmu pengetahuan atau ensiklopedia yang menjadi referensi tentang planet-planet harus direvisi.

























Orbit
of Pluto – polar view. This 'view from above' shows how Pluto's orbit
(in red) is less circular than Neptune's (in blue), and also shows how
Pluto is sometimes closer to the Sun than Neptune. The darker halves of
both orbits show where they pass below the plane of the ecliptic. The
positions of both are marked as of April 16th, 2006; in April 2007 they
will have barely changed by about 1 pixel.



Begitulah, jika anda ingin menjadi seorang ilmuan, belajarlah untuk
menerima kebenaran dari orang lain meskipun kebenaran itu bertentangan
dengan kebenaran yang kita yakini sebelumnya.




























Selasa, 22 Agustus 2006

Karnaval

Selasa, 22 Agustus 2006



Karnaval sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perayaan 17
Agustus (Pitulasan dalam bahasa Jawa). Arak-arakan ini mejadi
alternatif hiburan bagi masyarakat setiap bulan Agustus.



Waktu masih di Sekolah Dasar dulu, saya selalu ikut dalam rombongan karnaval
dengan berpakaian khas daerah Ponorogo. Teman-teman yang lain
berpakaian khas daerah-daerah lain sehingga menjadikan karnaval sebagai
pagelaran budaya Nusantara yang kaya. Masyarakat yang melihatnya
menjadi bangga karena kekayaan dan keragaman budaya yang dimiliki
bangsanya.



Tanggal 20 Agustus kemarin, anak dan istri saya menyaksikan karnaval di
lingkungan tempat tinggal kami di Malang, pembantu saya sudah duluan
pergi setelah mendengar suara drumband yang bergemuruh, sampai-sampai
menunda makannya. Saya tidak ikut serta karena masih memasang lampu dan
saklar di rumah sekaligus menjadi penjaga rumah, kampung saya sangat
sepi sekali waktu itu.



Setelah hari menjelang gelap, mereka pulang. "Bagaimana karnavalnya,
bagus ?" tanya saya. Istri saya langsung menyahut dengan nada ketus,
"Apanya yang bagus, parah."



Malamnya istri saya bercerita, karnaval
tadi sore sangat menakutkan. Ada yang membawa meriam bambu, suaranya
sangat keras memekakkan telinga. Ketika arak arakan meriam itu
melintas, anak saya langsung mengajak pulang. Istri saya menjelaskan,
"Tidak apa-apa, itu hanya mainan". Anak saya menurut sambil terus
menutup kedua telinganya. Yang lebih parah lagi ada arak-arakan musik
laki-laki muda (mungkin juga ada bapak-bapaknya) yang berpakaian
perempuan dengan gaya yang tidak senonoh dan jorok.



Istri saya masih bertahan untuk melihatnya, berharap ada arak-arakan
yang lebih bagus untuk ditunjukkan pada anak saya. Ada sepasang laki dan
perempuan (laki-laki yang berpakaian perempuan, lengkap dengan
tanda-tanda keperempuanan yang terbuat dari balon karet). Mungkin untuk
menggambarkan keharmonisan pasangan orang tua. Memang keduanya sayang akrab. Tetapi kemudian, sangat
mengejutkan, mereka melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan untuk
dilihat masyarakat dan anak kecil.



Saya sangat prihatin mendengar cerita istri saya. Karnaval perayaan 17
Agustus kemarin lebih menunjukkan ekspresi yang bermoral rendah
daripada rasa bangga menjadi bangsa dan rasya syukur mendapat rahmat
kemerdekaan.





Kamis, 03 Agustus 2006

Jurnal Orang Gunung Kepada Imam Isnaini (Bagian 2)

Kamis, 03 Agustus 2006

Media Massa Sebagai Pilar Demokrasi

(Ditulis pada 2 Desember 2004, 7:01 pm)



Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik dengan lisan
maupun tulisan adalah salah satu hak asasi manusia. Media massa
(khususnya koran atau surat kabar) merupakan salah satu sarana yang
penting dan berpengaruh untuk mengungkapkannya. Disini, koran berfungsi
untuk menyebarkan ide dan gagasan. Dikatakan salah satu karena masih
banyak sarana lain yang mungkin lebih efektif untuk menyebarkan ide
atau gagasan,misalnya melalui selebaran, pidato, ceramah di berbagai
kesempatan dan forum, diskusi, debat, kuliah, grup-grup diskusi,
tempat-tempat ibadah, dan sebagainya.



Sebagai sarana penyebaran ide dan gagasan, media massa menjadi salah
satu pilar demokrasi. Media massa berperan sebagai pembentuk pendapat
umum sehingga media masa dapat melakukan fungsi kontrol kebijakan
pemerintah. Karena fungsi tersebut media massa menjadi "kekuatan atau
kekuasaan keempat" (le quatrième pouvoir, the fourth power) disamping
legeslatif, yudikatif dan eksekutif.



Tetapi perlu diingat juga bahwa media masa tidak terlepas dari kekuatan
pemilik modal yang memberikan nafas keberadaannya. Bisa diambil sebuah
contoh pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, secara langsung
maupun tidak langsung, media massa menjadi corong Orde Baru. Media
massa yang tidak demikian akan mendapat tekanan yang kuat dan bisa-bisa
dihilangkan dari peredarannya. Ya, kondisi tersebut menggambarkan
betapa dasyatnya penindasan Orde Baru. Jika sudah demikian, bagaimana
kita bisa menggantungkan "kekuatan keempat" ini sebagai pilar demokrasi
?



Ignacio Ramonet, pemimpin redaksi bulanan Le Monde Diplomatique, Paris,
dalam tajuknya menyebut tentang lahirnya "kekuatan kelima" (le
cinquième pouvoir
). "Kekuatan kelima" berwujud pengawasan dari
masyarakat sipil baik yang terorganisasi maupun tidak dalam membela
hak-hak sipil mereka, melaksanakan dan membela nilai-nilai sosial dan
budaya termasuk demokrasi.



Lahirnya Kekuatan Kelima, erat hubungannya dengan tingkat kesadaran
akan hak-hak asasi, nilai-nilai republiken yang diajarkan sejak dini di
sekolah-sekolah, sehingga masyarakat sipil akhirnya tampil sebagai
pilar dan aktor kekuasaan sipil itu sendiri.



Ham dan Kewajiban Asasi Manusia


(Ditulis pada 2 Desember 2004, 10:18 pm)



Tulisan Kusni untuk topik ini senada dengan tulisan dan artikel lain yang
pernah saya baca. Intinya, HAM di
Indonesia dirasa masih belum dilaksanakan dengan baik, malah cenderung
dilanggar. Disini Kusni mengatakan, indikator yang paling gampang dilihat adalah dibentuknya
Komnas HAM dan kasus pembunuhan Munir.

"Meninggalnya Munir karena diracun menunjukkan bahwa HAM belum membudaya
di negeri kita dan pelanggaran serta penginjakannya merupakan praktek
umum."
Pelanggaran HAM semakin terasa di luar Jawa. Semakin jauh dengan Jawa
pelanggaran HAM semakin meraja lela, akibatnya muncul masalah daerah
berupa upaya pemisahan diri dengan NKRI.



Sebenarnya jika kita melaksanakan dengan konsekwen nilai-nilai
republiken dan keindonesiaan, kita sudah melaksanakan HAM di negeri
kita. Republik Indonesia, paduan dari republik dan Indonesia adalah
rumusan singkat padat akan nilai yang semestinya kita laksanakan dalam
berbangsa, bernegeri dan bernegara. Politik Jawanisasi yang diterapkan
oleh Orba tidak lain dari usaha membentuk suatu imperium ala Mataram.
Dari segi budaya barangkali di sinilah berpangkalnya kericuhan negeri
dan bangsa sekarang.



Tetapi, pelaksanaan HAM yang terlalu dipaksakan justru akan menimbulkan
penindasan. Atas nama HAM bisa saja seseorang bertindak semaunya,
menghilangkan kemerdekaan dan melanggar hak orang lain. Disinilah,
selain HAM perlu juga diperhatikan "kewajiban asasi manusia" yaitu
kewajiban untuk pemanusiawian manusia, kehidupan dan masyarakat.
Memperlakukan orang lain sebagai anak manusia, menghadapi kehidupan dan
masyarakat sebagai kehidupan dan masyarakat manusia untuk terus-menerus
diamusiawikan.





Tulisan asli Kusni :

Media Massa Sebagai Pilar Demokrasi

HAM dan Kewajiban Asasi Manusia









Rabu, 02 Agustus 2006

Jurnal Orang Gunung Kepada Imam Isnaini (Bagian 1)

Rabu, 02 Agustus 2006



Judul diatas adalah judul serangkaian tulisan JJ. Kusni (selanjutnya
saya sebut Kusni karena secara prinsip Beliau menolak untuk dipanggil
Bapak dan lebih suka dipanggil namanya saja) untuk menanggapi surat (lebih tepatnya e-mail)
yang saya tujukan kepadanya. Jurnal Orang Gunung ini ditulisnya pada
bulan Desember 2004 yang lalu.



Dibandingkan dengan e-mail saya kepadanya, jurnal ini sangatlah
panjang, ada 5 topik yang dikemukanan oleh Kusni, pertama Tentang
Manusia dan Negeri Kambé, kedua Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir dan
Mentalitas
, ketiga Media Massa Sebagai Pilar Demokrasi, keempat Ham dan
Wajib Asasi Manusia
dan yang kelima Eksotis dan Eksotisme. Rangkaian
tulisan Kusni ini saya ceritakan kembali karena saya ingin mengingat
banyak kritikan yang ditujukan kepada saya yang memang benar adanya
sekaligus saya ingin berbagi kepada pembaca mengenai topik-topik diatas.




Mengapa rangkaian tulisan ini dinamakannya Jurnal Orang Gunung ? Kusni
adalah orang asli Dayak yang sudah puluhan tahun merantau di negeri
orang, tepatnya di Montmartre, sebuah daerah tertinggi di Paris. Karena
hidup sebagai orang kampung di pegunungan, Kusni merasa dirinya tidak
lebih dari orang gunung belaka. Selain itu, Kusni melihat ada masalah yang serius dengan sebutan orang
gunung atau orang kampung yang sangat mengganggu bahkan merusak
hubungan antar anak bangsa.




Tentang Manusia dan Negeri Kambé.

( Ditulis pada 1 Desember 2004,  11:06 am ).

Dalam topik ini Kusni mengungkapkan penolakannya terhadap kehidupan
berbangsa kita yang cenderung terkotak-kotak. Pengkotakan-pengkotakan
itu menimbulkan pelecehan, penindasan dan penghisapan terhadap orang
gunung, orang desa atau kampung. Perlakuan terhadap orang kampung
seperti itu adalah wujud keangkuhan supremasi dan kebanggaan
berhegemoni yang membawa pada sebuah kedunguan primer alias hewani,
bukan tanda kemanusiawian. Lebih dalam lagi, pelecehan itu dinilai
sebagai kemerosotan manusia ke taraf "setan" dan "hantu" (Kambé,
menurut istilah Dayak Kalteng). Jika kondisi ini terus-menerus terjadi
bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Negeri Kambé. Tidakkah sekarang
kita didominasi oleh Kambé ?.


Indonesia yang manusiawi tidak memerlukan pengkotkan-pengkotakan, tidak
memerlukan kambé-kambé dan bahasa Indonesia bukanlah bahasa kambé
seperti juga Indonesia bukanlah negeri kambé.




Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir & Mentalitas.


( Ditulis pada 1 Desember 2004, 8:44 pm )




Saya tertohok dalam topik ini. Kusni menilai ada masalah yang prinsip
yang terlihat pada e-mail saya. Masalah yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa, pola pikir dan mentalitas saya yang selanjutnya
Kusni menyebutnya sebagai gambaran pola pikir generasi muda jaman
sekarang. Permasalahan terungkap ketika dalam e-mail, saya
mengakhirinya dengan kata regards.




Munculnya kata regards dalam komunikasi antar anak bangsa menunjukkan adanya masalah yang besar pada
pola pikir dan mentalitas generasi muda sekarang. Mengapa generasi muda sekarang memilih regards padahal dalam bahasa nasional kita
sudah mempunyai padanannya. Regards sama artinya dengan "salam" atau
"tabé" (dalam bahasa Dayak Kalteng). Bahasa
Indonesia masih bisa digunakan sebagai sarana komunikasi yang baik,
lebih-lebih dengan sesama anak bangsa. Pemilihan kata regards dibanding
"salam" atau "tabé" menggambarkan generasi muda sekarang sudah tidak
mempunyai kepercayaan diri dan identitas sebagai bangsa. Bukan tidak
mungkin, hilangnya kepercayaan diri dan identitas sebagai bangsa itu
membuka pintu neo-kolonialisme sehingga memudahkan bangsa dan negeri
ini terjual.



Kerusakan pola pikir dan mentalitas generasi muda yang saat ini sudah
masuk dalam alam bawah sadarnya, tidak terlepas dari peran Orde
Baru (Orba) yang berkuasa cukup lama (32 tahun) di negeri ini..




Membicarakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
terkait juga dengan penggunaan bahasa tersebut dalam dunia
tulis-menulis lebih khusus dunia pers. Pers sangat berperan dalam
membangun dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Dalam hal ini, Kusni menilai pers kita banyak merusak bahasa Indonesia,
sayang sekali Kusni tidak menyebutkan contoh-contoh kerusakannya. Hal
ini menyangkut kesadaran berbahasa para wartawannya. Kesadaran
berbahasa termasuk dalam lingkup kesadaran nasional, pembangunan watak
bangsa dan tingkat pengetahuan serta wawasan sang wartawan..



Dengan melihat gejala penggunaan bahasa Indonesia pada generasi muda
sekarang ini, negeri dan bangsa kita masih belum terlepas dari sebutan
"bangsa koeli" (Pada jaman kolonialisme Belanda, bangsa kita pernah
disebut sebagai "bangsa koeli" yang hidup dari "sebenggol"). Alih-alih
meninggalkan "bangsa koeli" dan "benggolan", kita malah menikmati dan
membanggakannya. Untuk membebaskan bangsa kita dari "bangsa koeli" diperlukan suatu politik kebudayaan nasional
yang tandas..




(Bersambung...)





Tulisan asli Kusni dan e-mail saya:

Tentang Manusia dan Negeri Kambé.

Tentang Bahasa Nasional, Pola Pikir & Mentalitas.












Selasa, 01 Agustus 2006

Azif 2 Tahun

Selasa, 01 Agustus 2006

Kur kur kur....yam makan yam

Azif saat usia 2 tahun. Foto-foto diambil waktu di rumah eyangnya di kampung.
12duadua © 2014