Mbah Asmi
Versi Asli (lama)
Suatu malam aku bermimpi bertemu dengan nenekku yang sudah meninggal
beberapa tahun yang lalu. Kata ayahku, itu pesan untukku agar aku
mendoakannya. Aku berdoa
Allaah hummagfirlii waliwaa lidayya warkhamhuma kamaa robbayaanii soghiiraa
>Aku menganggap doa itu tidak hanya untuk ayah dan ibuku saja,
tetapi juga untuk nenek dan kakekku karena mereka juga orang
tuaku. Mereka juga sangat menyayangiku. Kasih sayang nenek dan kakek
kepada cucunya melebihi sayangnya kepada anaknya sendiri, begitulah
kata orang-orang yang sering aku dengar. Aku mengangguk membenarkan
Mbah Asmi adalah cerita lain dari kasih seorang nenek kepada cucunya.
Ketika beliau meninggal, keluarganya menemukan potongan makanan di saku
baju yang dipakainya dan baju-baju yang lain yang tergantung di
kamarnya. Makanan itu akan diberikan kepada cucunya, tetapi beliau lupa
memberikannya karena sudah pikun (pelupa karena usia). Disaat semua terlupakan, hanya satu yang diingatnya, cucunya.
Aku berdoa lagi, selain untuk ayah, ibu, kakek dan nenekku, juga untuk Mbah Asmi.
Mbah Asmi
Versi Baru (diceritakan ulang)
Hari menjelang petang, sinar
matahari yang sudah menguning tidak menyengat lagi. Aku dan banyak orang di
kampungku bersiap mengantar jenazah seorang nenek yang meninggal tadi pagi.
Nenek itu masih terhitung saudara denganku, beliau adalah kakak dari nenekku
yang tertua. Asmi nama beliau, aku biasa memanggilnya Mbah Asmi.
Sejak anaknya
yang kedua pulang dari perantauan, Mbah Asmi sering sakit-sakitan. Anak
pertamanya itu sering bertengkar dengan kakaknya, anak Mbah Asmi yang pertama,
setiap hari selalu saja ada masalah yang diributkan, terkadang masalahnya hanya
sepele. Anak pertamanya merasa lebih pintar dan lebih tahu dibanding kakaknya.
Memang anak Mbah Asmi yang pertama itu tidak pernah pergi kemana-mana,
paling-paling pergi ke pasar atau ke sawah, paling jauh pergi ke alun-alun
kota, itupun hanya setahu sekali, mengantar anaknya ke pasar malam. Ia dan
suaminyalah yang merawat dan menjaga Mbah Asmi.
Sebulan yang
lalu anak keduanya itu pergi entah kemana. Mbah Asmi selalu memikirkannya,
bagaimanapun ia adalah anaknya yang pernah lahir dari rahimnya. Beliau masih
berharap anaknya itu berubah menjadi anak yang baik seperti dulu ketika
berpamitan merantau. Kami semua warga kampung tidak berhasil melacak
keberadaannya untuk mengabarkan ibunya sudah dipanggil Sang Pencipta.
Iring-iringan
jenazah sudah sampai ke pemakaman di belakang masjid di bagian utara kampungku.
Liang lahat telah disiapkan oleh pemuda-pemuda dengan sukarela karena begitulah
kebiasaan di kampung kami. Setelah pemakaman selesai, Pak Modin, petugas
kelurahan yang mengurus kematian dan pernikahan memimpin doa dan memohon
kerelaan para pengantar untuk memaafkan semua kesalahan Mbah Asmi.
Setelah semua
prosesi pemakaman selesai, semua pengantar pulang. Tapi aku tidak langsung
pulang, bersama dengan keluarga Mbah Asmi, aku kembali ke rumah duka, membantu
keluarga Mbah Asmi, karena masih banyak tetangga dan para kerabat yang datang
melayat, ikut berbela sungkawa.
Aku diminta
untuk membereskan kamar Mbah Asmi. Kerabat Mbah Asmi dari luar kota dipastikan
menginap disini nanti malam, kamar itu bisa digunakannya. Aku membersihkan
kamar Mbah Asmi dan membereskan semua benda yang ada dikamar itu termasuk
pakaian-pakaiannya, dipilah mana yang kotor dan mana yang bersih. Pakaian yang
bersih dirapikan dan dimasukkan almari sedangkan yang koror dibawa ke belakang
untuk dicuci besok paginya.
Aku sedikit
terkejut ketika memegang saku salah satu baju yang tergantung di belakang pintu
kamar. Saya mengira uang atau barang berharga, mungkin cincin atau kalung.
Ternyata bukan uang, cincin atau kalung, tapi permen dua biji. Aku merogoh saku
yang sebelahnya, isinya permen dan coklat. Aku mengambil semua pakaian yang
tergantung, semua sakunya kuperiksa. Wouw, aku menemukan tempe goreng yang
sudah hampir membusuk, roti kering yang terbungkus, boneka kecil berbentuk
tentara dari plastik dan gambar-gambar kecil dari kertas.
Aku tanyakan
pada anak Mbah Asmi yang pertama, kenapa barang-barang itu tersimpan disakunya
dan untuk apa. Sebelum menjawab pertanyaanku, anak Mbah Asmi itu terisak, mata
yang masih belum mengering kini basah lagi. Sambil terisak ia mengatakan,
barang-barang itu untuk anaknya, cucunya Mbah Asmi. Makanan-makanan itu
pemberian dari tetangga untuk beliau, makanan itu tidak dimakannya sediri,
sebagian disisihkan untuk cucunya. Kalau mainan itu beliau mintakan ke
anak-anak yang main di halaman depan atau ditemukannya di jalan waktu beliau
jalan pagi. Semua barang itu tidak sampai kepada cucunya karena bilau sudah
pikun, pelupa karena sudah tua. Jadi barang-barang itu tetap disakunya sampai
kutemukan. Beliau sangat sayang kepada cucunya, katanya lagi
Aku teringat
kata banyak orang kalau sayangnya nenek atau kakek kepada cucunya lebih besar
dibanding sayangnya orang tua kepada anaknya.
12 komentar: