Pages

Kamis, 23 Maret 2006

Nasrudin Hoja

Kamis, 23 Maret 2006




Hikmah adalah milik kita, carilah dimanapun ia berada






Saya selalu mengikuti kata bijak diatas. Salah satu sumber hikmah
yang saya yakini adalah kisah. Ketika membaca sebuah kisah, baik kisah
nyata atau rekaan, saya selalu berusaha untuk merenungkan, apa hikmah
yang bisa saya ambil dibalik kisah itu. Kisah Nasrudin Hoja salah satunya.
Kisah-kisahnya lucu dan menarik, mirip dengan kisah-kisah Abunawas. Ia
adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad
kekhalifahan Islam sampai pada penaklukan Bangsa Mongol.



Di masa sekolah, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi
teman-teman sekolahnya, sampai-sampai mereka lalai dalam pelajaran
sekolahnya. Karena ulahnya itu gurunya yang bijak pernah berujar
"Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang
bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan
menertawaimu
."



Dalam kelucuannya itu, Nasrudin kadang menyentil pemerintahan yang saat
itu sedang berkuasa beserta para aparaturnya. Simaklah salah satu
kisahnya dalam "Teori Kebutuhan"

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti
umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi
saja.



Hakim memulai :
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."


Nasrudin menukas : "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi
justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."


Hakim
mencoba bertaktik :
"Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda.
Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang
akan dipilih?"


Nasrudin menjawab seketika : "Tentu, saya memilih kekayaan."



Hakim
membalas sinis :
"Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui
masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"



Nasrudin balik bertanya : "Kalau pilihan Anda sendiri?"


Hakim menjawab tegas : "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."


Dan Nasrudin menutup : "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."


Begitulah Nasrudin dan kelucuannya. Jika MPers ingin membaca kisah-kisah Nasrudin yang lain, silahkan di download di sini Semoga bermanfaat.



Selasa, 21 Maret 2006

Mpong

Selasa, 21 Maret 2006

Suatu malam, anakku yang berusia hampir dua tahun berlari ketakutan
dari kamar tidur. Dia menuju kearahku dan segera memelukku. Waktu itu
aku sedang di ruang tengah, ngobrol dengan istriku. Aku dan istriku
heran ada apa. Biasanya Dia tidak pernah takut masuk kamar sendirian.
Dia sering bersembunyi di kamar itu ketika bermain petek umpet
bersamaku.



"Ayah, takuuut" sambil telunjukknya menunjuk kamar. "Ayah, takuuut" Dia mengulanginya berkali-kali.



"Ada apa, Adek takut apa ?" Aku membawanya ke kamar. Dia masih dalam
gendonganku, memeluku erat, semakin erat ketika mendekati kamar.



"Tidak ada apa-apa Dek, coba lihat"



"Ayah, takuuut"



"Takut apa ?"



"Mpong Ayah, Mpong" Dia mengarahkan telunjuknya ke atas almari.



Aku melihat ke atas almari. Tidak ada sesuatu yang menakutkan. Aku ajak
kembali anakku ke ruang tengah dan menenangkannya. Istriku menyarankan
malam ini tidur di kamar yang lain saja. Dia sedikit kawatir, jangan-jangan memang ada sesuatu dalam kamar itu.



Rumah yang kami tempati sekarang dulunya tidak berpenghuni. Sudah
setahun lebih ditinggal pemiliknya karena harus menempati rumah dinas
di luar kota. Kami yang pertama kali menempati rumah ini sejak
ditinggal pemiliknya. Menurut cerita orang-orang dulu, rumah yang lama
tidak ditempati manusia akan diambil alih oleh makhluk lain, entah itu
hewan atau makhluk halus. Pembantu kami menyarankan agar kami minta
bantuan orang pintar untuk mengusir hantu. Dia yakin anakku melihat
hantu. Katanya, anak kecil peka terhadap keberadaan hantu.




Beberapa hari setelah peristiwa itu, pembantu kami menginformasikan ada
orang pintar di kampung sebelah. Orang itu biasa dimintai tolong untuk
mengusir hantu. Sebenarnya kami sudah melupakan peristiwa itu, kami
juga kurang yakin dengan praktek-praktek semacam itu. Kami lebih yakin
dengan usaha kami sendiri dengan menambah frekuensi membaca Al-Qur'an
dan berdoa untuk keselamatan kami sekeluarga jika memang ada makhluk halus yang mengganggu kami. Tetapi pembantu kami
meyakinkan bahwa orang pintar itu bukan dukun, dia seorang kiai.
Akhirnya Aku dan istriku mengiyakan pembantuku untuk meminta bantuan orang
pintar itu.




Pada hari yang dijanjikan, orang pintar itu datang. Tapi Aku heran,
pakaiannya tidak seperti kiai-kiai biasanya. Dia hanya berpakaian
layaknya orang biasa, atasnya hem lengan panjang dan bawahannya celana
kain hitam. Setelah kami berkenalan dan mengobrol sebentar, orang
pintar itu meminta ijin untuk melihat-lihat rumah kami. Aku
mengijinkannya. Semua ruang dimasukinya, mulai ruang tengah, kamar
tidur, dapur sampai ke kamar mandi. Setelah selesai kami kembali ke
ruang tamu. Alhamdulillah orang pintar itu tidak melakukan hal yang
aneh-aneh, hanya berkeliling saja




"Tidak apa-apa kok Pak" Dia mulai bicara. "Rumah ini tidak ada apa-apa, aman"




"Maksud Bapak ?" aku bertanya




"Iya, tidak ada apa-apa, lebih sering saja Bapak membaca Al Qur'an" Dia menjelaskan.




"Baik Pak




Setelah itu, Dia berpamitan. Sambil menyalaminya, saya memberi amplop
berisi sejumlah uang kepadanya. Dia menolaknya. Aku memaksanya.Tapi
tetap ditolaknya. Dia menjelaskan hanya membantu saja, bukan untuk
mencari uang. Dengan masih memegang tanganku, Dia memasukkan amplop yang berisi uang itu ke dalam saku
bajuku




**********




Aku, istri dan anakku turun dari bus yang kami naiki dari rumah orang
tuaku, kakek dan nenek anakku. Kami berjalan di koridor terminal menuju
ke pangkalan taxi. Dalam perjalanan, anaku menunjuk orang
yang sedang berjalan ke arah terminal dengan menarik travel bag beroda, berjalan berlawanan arah dengan kami.




"Ayah, Mpong, Ayah Mpong




Aku dan istriku kaget. Tapi setelah berpapasan dengan orang yang menarik travel bag itu Aku dan istriku tertawa. Ternyata yang disebut Mpong itu travel bag warna hitam milik orang itu yang hampir sama dengan yang kami miliki. Travel bagi itu diatas almari dalam kamar.




Sesampai di rumah Aku menurunkan travel bag warna hitam dari atas almari. Lalu aku mengajak anakku ke kamar.




"Adek, Mpongnya masih ada ?" tanyaku kepada anakku




Anakku melihat ke atas almari dan berkata "Ndak ada Ayah, ndak ada, Mpong bobok"






Senin, 20 Maret 2006

Kamis, 16 Maret 2006

Mbah Asmi

Kamis, 16 Maret 2006

Mbah Asmi

Versi Asli (lama)



Suatu malam aku bermimpi bertemu dengan nenekku yang sudah meninggal
beberapa tahun yang lalu. Kata ayahku, itu pesan untukku agar aku
mendoakannya. Aku berdoa



Allaah hummagfirlii waliwaa lidayya warkhamhuma kamaa robbayaanii soghiiraa

 

>Aku menganggap doa itu tidak hanya untuk ayah dan ibuku saja,
tetapi juga untuk nenek dan kakekku karena mereka juga orang
tuaku. Mereka juga sangat menyayangiku. Kasih sayang nenek dan kakek
kepada cucunya melebihi sayangnya kepada anaknya sendiri, begitulah
kata orang-orang yang sering aku dengar. Aku mengangguk membenarkan

Mbah Asmi adalah cerita lain dari kasih seorang nenek kepada cucunya.
Ketika beliau meninggal, keluarganya menemukan potongan makanan di saku
baju yang dipakainya dan baju-baju yang lain yang tergantung di
kamarnya. Makanan itu akan diberikan kepada cucunya, tetapi beliau lupa
memberikannya karena sudah pikun (pelupa karena usia). Disaat semua terlupakan, hanya satu yang diingatnya, cucunya.

Aku berdoa lagi, selain untuk ayah, ibu, kakek dan nenekku, juga untuk Mbah Asmi.







Mbah Asmi



Versi Baru (diceritakan ulang)



Hari menjelang petang, sinar
matahari yang sudah menguning tidak menyengat lagi. Aku dan banyak orang di
kampungku bersiap mengantar jenazah seorang nenek yang meninggal tadi pagi.
Nenek itu masih terhitung saudara denganku, beliau adalah kakak dari nenekku
yang tertua. Asmi nama beliau, aku biasa memanggilnya Mbah Asmi.

Sejak anaknya
yang kedua pulang dari perantauan, Mbah Asmi sering sakit-sakitan. Anak
pertamanya itu sering bertengkar dengan kakaknya, anak Mbah Asmi yang pertama,
setiap hari selalu saja ada masalah yang diributkan, terkadang masalahnya hanya
sepele. Anak pertamanya merasa lebih pintar dan lebih tahu dibanding kakaknya.
Memang anak Mbah Asmi yang pertama itu tidak pernah pergi kemana-mana,
paling-paling pergi ke pasar atau ke sawah, paling jauh pergi ke alun-alun
kota, itupun hanya setahu sekali, mengantar anaknya ke pasar malam. Ia dan
suaminyalah yang merawat dan menjaga Mbah Asmi.

Sebulan yang
lalu anak keduanya itu pergi entah kemana. Mbah Asmi selalu memikirkannya,
bagaimanapun ia adalah anaknya yang pernah lahir dari rahimnya. Beliau masih
berharap anaknya itu berubah menjadi anak yang baik seperti dulu ketika
berpamitan merantau. Kami semua warga kampung tidak berhasil melacak
keberadaannya untuk mengabarkan ibunya sudah dipanggil Sang Pencipta.

Iring-iringan
jenazah sudah sampai ke pemakaman di belakang masjid di bagian utara kampungku.
Liang lahat telah disiapkan oleh pemuda-pemuda dengan sukarela karena begitulah
kebiasaan di kampung kami. Setelah pemakaman selesai, Pak Modin, petugas
kelurahan yang mengurus kematian dan pernikahan memimpin doa dan memohon
kerelaan para pengantar untuk memaafkan semua kesalahan Mbah Asmi.

Setelah semua
prosesi pemakaman selesai, semua pengantar pulang. Tapi aku tidak langsung
pulang, bersama dengan keluarga Mbah Asmi, aku kembali ke rumah duka, membantu
keluarga Mbah Asmi, karena masih banyak tetangga dan para kerabat yang datang
melayat, ikut berbela sungkawa.

Aku diminta
untuk membereskan kamar Mbah Asmi. Kerabat Mbah Asmi dari luar kota dipastikan
menginap disini nanti malam, kamar itu bisa digunakannya. Aku membersihkan
kamar Mbah Asmi dan membereskan semua benda yang ada dikamar itu termasuk
pakaian-pakaiannya, dipilah mana yang kotor dan mana yang bersih. Pakaian yang
bersih dirapikan dan dimasukkan almari sedangkan yang koror dibawa ke belakang
untuk dicuci besok paginya.

Aku sedikit
terkejut ketika memegang saku salah satu baju yang tergantung di belakang pintu
kamar. Saya mengira uang atau barang berharga, mungkin cincin atau kalung.
Ternyata bukan uang, cincin atau kalung, tapi permen dua biji. Aku merogoh saku
yang sebelahnya, isinya permen dan coklat. Aku mengambil semua pakaian yang
tergantung, semua sakunya kuperiksa. Wouw, aku menemukan tempe goreng yang
sudah hampir membusuk, roti kering yang terbungkus, boneka kecil berbentuk
tentara dari plastik dan gambar-gambar kecil dari kertas.

Aku tanyakan
pada anak Mbah Asmi yang pertama, kenapa barang-barang itu tersimpan disakunya
dan untuk apa. Sebelum menjawab pertanyaanku, anak Mbah Asmi itu terisak, mata
yang masih belum mengering kini basah lagi. Sambil terisak ia mengatakan,
barang-barang itu untuk anaknya, cucunya Mbah Asmi. Makanan-makanan itu
pemberian dari tetangga untuk beliau, makanan itu tidak dimakannya sediri,
sebagian disisihkan untuk cucunya. Kalau mainan itu beliau mintakan ke
anak-anak yang main di halaman depan atau ditemukannya di jalan waktu beliau
jalan pagi. Semua barang itu tidak sampai kepada cucunya karena bilau sudah
pikun, pelupa karena sudah tua. Jadi barang-barang itu tetap disakunya sampai
kutemukan. Beliau sangat sayang kepada cucunya, katanya lagi

Aku teringat
kata banyak orang kalau sayangnya nenek atau kakek kepada cucunya lebih besar
dibanding sayangnya orang tua kepada anaknya.









Minggu, 05 Maret 2006

Anak Pertama

Minggu, 05 Maret 2006


Aku berkenalan dengan seorang bapak, istrinya baru melahirkan anak
pertamanya seminggu yang lalu. Setelah bercerita kesana-kemari, kami
bercerita tentang anak.



Dia (D): "Mas anaknya berapa"

Saya (S) : "Satu"

D : "Laki ato perempuan"

S : "Laki-laki mas, anak sampeyan ?

D : "Perempuan. Sebenarnya saya ingin anak pertama saya laki-laki, ternyata keluar perempuan".




Waktu istrinya hamil, ia sangat mendambakan anaknya nanti laki-laki. Ia
sudah punya rencana kalau anak yang lahir laki-laki mau langsung
disembelihkan 2 kambing untuk akikah, dibelikan kereta dorong buat
jalan-jalan, dibelikan mainan-mainan untuk mengisi kamarnya dan
rencana-rencana yang lain (saya lupa)


D : "Setelah tau perempuan, saya jadi males mas"




Aku kaget setengah mati, ada apa dengan orang ini, punya anak kok
males, padahal banyak yang ingin punya anak tapi belum juga dikasih.
Lha orang ini kok males




S : "Laki-laki atau perempuan sama saja to mas, yang penting sehat, banyak yang belum punya anak lho mas"



D : "Saya tau mas, tapi gimanaaaa gitu, bangga kali ya punya anak pertama laki-laki"




Ada apa dengan perempuan ? Padahal istri-istri kita juga perempuan, ibu
yang mengandung, melahirkan dan menyusui kita juga perempuan. Lantas
kenapa ?






12duadua © 2014