Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Sudimara Dikala Senja

Rabu, 31 Maret 2010



Menjemput istri di Sudimara. Ternyata, masih harus menunggu lama sampai kereta datang. Daripada nganggur, iseng-iseng motret sana-sini

Senin, 29 Maret 2010

Amplop dan Kelahiran

Senin, 29 Maret 2010
Sering saya menerima amplop kosong. Biasanya bertuliskan nama sebuah yayasan yatim piatu, panti jompo, pendidikan anak terlantar atau nama sebuah pesantren yang entah dimana. Ya, benar, pemberi amplop itu berharap saya menyumbang sejumlah uang.

Terkadang saya memberi, terkadang pula tidak. Tergantung apa kata hati kecil saya. Kalau bisikan dalam hati mengatakan "ya, berilah" maka amplop itu akan terisi. Tak peduli pemberi amplop itu menipu atau tidak. Itu bukan urusan saya, yang penting bagi saya adalah ikhlas.

Tapi, jika hati kecil saya mengatakan "tidak", maka saya biarkan amplop itu tetap kosong sampai di tangan orang yang mengumpulkannya.

Cerita amplop itu saya alami lagi pada suatu siang, saat saya hendak Shalat Jum'at. Di depan masjid, ada seseorang yang menghentikan saya. Ia berusia sekitar 40 tahunan. Sambil menatap saya, ia memberikan sebuah amplop. Saya sudah mengerti maksudnya, pasti meminta sumbangan.

Saya lihat ada tulisan di amplop itu. Saya membacanya. Astaga! Amplop itu bertertuliskan, "maaf mohon bantuan se ikhlas nya. Dana itu buat biaya lahiran istri saya". Di bawahnya ada penanda bertuliskan "(Pedagang Peci)". Saya trenyuh sekali membacanya.

Terbayang dalam angan-angan saya, seorang ibu sedang hamil tua mengerang kesakitan. Bayi dalam kandungannya meronta ingin segera keluar. Saya rasakan juga kepanikan seorang suami mencari biaya untuk persalinan istrinya. Hasil berdagang peci hanya cukup untuk menebus kebutuhan sehari-hari.

Tak perlu menunggu lama, hati saya mengatakan "berikan".

Alhamdulillah, saat selesai Shalat Jum'at, saya melirik beberapa jama'ah memasukkan sejumlah uang ke amplop itu. Semoga saja amal para jama'ah dan yang lainnya cukup menutupi biaya persalinan istrinya.

Kamis, 25 Maret 2010

Generasi Kurikulum

Kamis, 25 Maret 2010
Saat melintas di jalan Sultan Agung, Jakarta, saya melihat seorang anak perempuan, berseragam Sekolah Dasar (SD), sedang terkantuk-kantuk dibonceng motor (yang kemungkinan besar) ayahnya. Badannya terlihat lesu menanggung beban yang berat.

Dalam berita di televisi dilaporkan sekelompok pelajar SMA di Makassar mengadakan konvoi sepeda motor. Sebelumnya, mereka mencorat-coret baju seragam dengan cat semprot berbagai warna.Salah seorang diwawancarai. Ia mengatakan, konvoi ini merupakan ekspresi kelegaan mereka karena telah menyelesaikan Ujian Nasional (UN).

Saya ingin menggunakan ilmu "othak-athik gathuk" untuk melihat kedua peristiwa diatas. "Othak-athik Gathuk" itu mengait-kaitkan beberapa peristiwa atau segala sesuatu sehingga terlihat hubungannya. Apakah memang punya hubungan? Bisa ya, bisa tidak.

Kedua peristiwa yang saya ceritakan berkaitan dengan sekolah. Anak perempuan berseragam SD sedang menjalani proses sekolah, sedangkan anak-anak SMA yang berkonvoi baru selesai.

Yang menjalani proses, terlihat menanggung beban berat. Saking beratnya, mereka gembira dan lega setelah beban itu hilang. Lihatlah anak-anak SMA Makassar yang berkonvoi ria. Padahal, menurut saya, kegembiraan itu belum berdasar.

Ujian baru saja selesai, dikoreksi pun belum. Berarti, belum tentu juga mereka mendapat nilai bagus dan lulus. Tapi, bagi mereka yang penting lega, beban itu "sementara" sudah terlepas.

Benarkah sekolah menjadi beban? Perlu ada fakta lain yang di-"gathuk"-kan.

Saya melihat-lihat arsip melalui internet. Diantaranya, "Kurikulum Tidak Efektif - Pelajar Cenderung Stres", "Kurikulum Kita: Beban Berat Bagi Siswa", "Beban Siswa SMK Lebih Berat", dan "Empat Jam Sehari, 16 Buku, dan Dunia yang Musnah".

Ada yang menarik ingin saya ceritakan disini. Amelia Ayu (12), siswi SMP di Yogyakarta berkisah, selain jam-jam yang dihabiskan di sekolah, di rumah ia masih menambah 4 jam lagi, jam 15.00-17.00 dan 19.00-21.00 untuk mempelajari pelajaran sekolah.

Cukupkah? Ternyata belum. Amelia mengatakan, masih ada pelajaran yang belum sempet dipelajari. Ia merasa kesulitan membagi waktunya untuk semua pelajaran sekolah.

Di-"gathuk"-kan lagi. Jika sebagian besar waktu digunakan untuk pelajaran sekolah, kapan waktu bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya atau membantu orangtuanya mengerjakan pekerjaan rumahtangga, menyapu, mencuci pakaian dan lain-lain?

Padahal aktifitas-aktifitas selain belajar pelajaran sekolah itu menjadi media pembangunan karakter bagi anak.

Bisakah generasi kurikulum itu bisa berkembang jiwa dan badannya? Saya agak kawatir jika sistem belajar semacam ini terus dijalankan, generasi kita kurang terbangun jiwanya.

Ini hanya ilmu "othak-athik gathuk". Boleh diterima dan sangat boleh ditolak. Namun, tak ada salahnya kita merenung untuk pendidikan anak-anak kita.

[Gambar pinjam dari sini]

Selasa, 23 Maret 2010

Ke Istiqlal

Selasa, 23 Maret 2010

Saya memasang timer di camera dan lariiii....bergabung sama Azif dan Bundanya

Setelah keliling Jakarta, kami mengajak Azif mampir ke Istiqlal, dia terkagum melihat interior masjid yang megah. Dia juga suka pelatarannya yang luas. Dari situ bisa lihat puncak Monas.

Para Penghuni Kampus, Dimanakah Mereka Sekarang?

Ayahnya seorang buruh tani, ibunya "bakul" (penjual) sayuran. Meski demikian, tak menghalangi niatnya untuk kuliah di Perguruan Tinggi. Bagaimana dengan biaya hidup dan studinya? Tak kurang akal, dengan segala upaya ia berusaha mendapat biasiswa mulai dari semester pertama.

Ia juga memanfaatkan masjid sebagai tempat tinggalnya, untuk itu ia mengajukan diri menjadi pengurus masjid. Semua Unit Kegiatan Mahasiswa ia masuki dan berkeras menjadi sie konsumsi. Di posisi itu ia sering mendapat jatah dari kelebihan konsumsi saat seminar atau kegiatan lain.

Ia adalah Dr. Purwadi, doktor bidang filsafat Jawa. Teman-teman yang mengikuti Kick Andy episode "Mengejar Mimpi", 19 Maret yang lalu pasti mengetahui kisahnya. Sangat inspiratif, tentang orang-orang dari keluarga berekonomi lemah yang berhasil mengejar impiannya mencapai tingkat pendidikan tinggi. Ternyata Saldi Isra, Ahli Hukum Tata Negara yang terkenal itu juga berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Saya masih bisa membayangkan bagaimana suasana kampus waktu saya kuliah dulu. Mirip dengan Dr. Purwadi, banyak teman-teman saya yang tinggal di sekretariat Himpunan Mahasiswa, laboratorium atau di masjid kampus.

Setiap malam, kampus ramai. Di sudut-sudutnya selalu saja terdengar gurauan, teriakan dan nyanyian para penghuni kampus. Sekretariat Himpunan Mahasiswa jurusan saya disebut Graha, maka kami menyebut mereka "Penghuni Graha".

Adakah mereka sekarang?

Hari ini saya membaca berita di Kompas, "Kos Rp 2 Juta Sebulan di Yogya". Saya kaget membacanya. Ternyata, kos-kosan dengan fasilitas layaknya hotel sudah marak di Yogyakarta. Padahal dulu terkenal dengan hidup yang sederhana alias semuanya murah. Yang menyewa kamarnya bukan hanya karyawan, tapi juga para mahasiswa.

Tentu, yang tinggal disitu bukan mahasiswa seperti saya atau Dr. Purwadi dan teman-teman saya para penghuni kampus dulu. Fasilitas mewah bukan kebutuhan kami, yang paling penting terjangkau, syukur-syukur bisa gratis.

Ada dua sudut pandang untuk melihat fenomena ini, optimis dan pesimis. Sudut pandang optimis, mudah-mudahan ini yang sebenarnya terjadi, tempat kos mahal menjamur padahal biaya kuliah melambung. Berarti, mahasiswa yang kuliah berasal dari keluarga yang sangat mampu.

Jika sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah (seperti saat saya kuliah dulu), maka banyak keluarga dari daerah yang sangat mampu. Artinya, masyarakat di daerah jauh lebih makmur dibanding zaman saya mahasiswa dulu dan bisa jadi kesejahteraan negeri ini semakin merata. Sehingga, para penghuni kampus sudah tidak ada lagi.

Namun, saya sedih dan kawatir melihatnya dari sudut pandang pesimis. Sebenarnya, anak-anak muda setingkat penghuni kampus masih banyak. Mereka terpinggirkan karena kampus tak memberi tempat bagi mereka, sedang biaya ekonomi tinggi menggilasnya.

Mereka bukan menghilang, melainkan terbuang. Kampus bukan tempat bagi mereka, sepandai apa pun ia.

Bukankah masih ada biasiswa? Benar, dengan biasiswa beban biaya studinya berkurang. Tapi, bagaimana dengan biaya-biaya yang lain? Masihkan kampus memberinya tempat untuk tinggal saat mereka tak mampu membayar sewa kos? Bagaimana pula dengan harga-harga yang sudah berlipat-lipat dibanding dulu?

Saya berharap, ini hanya kekawatiran saya yang kurang benar.

[Catatan: gambar hanya ilustrasi saja]

12duadua © 2014