Pages

Sabtu, 12 September 2009

Silaturahmi, Perlukah Berkunjung?

Sabtu, 12 September 2009
Pastinya semua setuju kalau silaturahmi itu baik dan perlu untuk kita lakukan. Silaturahmi itu dapat melapangkan rezeki dan memanjangkan umur, begitu kira-kira sabda Nabi.

Di era kemajuan telekomunikasi seperti sekarang ini, sangat mudah menjalin hubungan silaturahmi. Jarak dan waktu tak menjadi soal. Setiap saat kita bisa bertegur sapa dengan kerabat dan sahabat di belahan bumi yang jauh, tanpa kita bertemu langsung dengan mereka.

Meski demikian, bersilaturahmi dengan berkunjung tetap harus diusahakan, meski hanya sesekali saja, terutama dengan kerabat dan sahabat dekat. Keakraban bisa kita jalin dengan bantuan alat telekomunikasi, namun keakraban akan jauh lebih dekat jika kita mau berkunjung ke tempat tinggal mereka.

Ketika bertandang, kita bisa mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya. Ya kalau baik-baik saja sih alhamdulillah, tapi kalau keadaan mereka membutuhkan bantuan dan mereka enggan memintanya, kita tak akan mengetahuinya.

Saya punya cerita. Saya tulis kembali dari kisah nyata. Ada seseorang pergi ke Jakarta. Selain berkunjung ke rumah anaknya, ia ingin mencari saudara sepupunya. Sudah puluhan tahun sepupunya itu merantau dan tak pernah pulang. Mereka berdua hanya berkirim kabar melalui telepon, sesekali berkirim surat.

Saat telepon, keadaan sepupunya itu sepertinya baik-baik saja. Tapi, setelah mengetahui rumah sepupunya, ia tak kuasa menahan air matanya. Rumahnya di ujung lorong sempit sebuah kampung kumuh. Itu pun bukan rumahnya sendiri.

Sehari-hari sepupunya itu berjualan koran dari jam 5 sore sampai jam 2 dinihari. Tak jarang ia pulang setelah subuh. Karena sering menghirup udara malam dan juga polusi, ia terserang penyakit paru-paru. Tubuhnya kurus kering tanpa daging.

Pertemuan kedua saudara itu menjadi pertemuan yang mengharukan. Ia tak menyangka, keadaan sepupunya begitu mengenaskan. Jauh sekali dengan bayangannya saat berbicara lewat telepon. Mungkin sepupunya sungkan untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya, takut dikira meminta-minta.

Dibalik kesedihannya itu ia lega, akhirnya bisa melihat keadaan sepupunya yang sebenarnya dan bisa membantu sekuat kemampuannya.

Selasa, 01 September 2009

Yang Membutuhkan dan Dibutuhkan

Selasa, 01 September 2009
Hampir di setiap lampu merah Jakarta bisa saya temui peminta-minta. Saya selalu memperhatikan mereka, bagaimana gayanya meminta. Teman-teman pasti sudah banyak yang tau bagaimana ganya orang-orang yang meminta itu.

Saya tak sedang membahas soal gaya mereka, namun saya melihat bagaimana kerasnya usaha orang tatkala membutuhkan sesuatu. Peminta itu membutuhkan uang untuk mempertahankan hidupnya, uang begitu penting baginya. Apa pun dilakukan untuk mengundang iba orang yang didekatinya. Sementara orang yang didekati itu terkadang tak merasa membutuhkannya sehingga cuek-cuek saja.

Apabila yang menjadi ukuran adalah uang, maka yang tak punya uang menjadi yang membutuhkan dan yang berpunya berperan sebagai yang dibutuhkan. Begitulah memang, yang merasa dibutuhkan sering kali berlagak acuh dan merasa dirinya lebih tinggi dari yang membutuhkan. Dan yang membutuhkan berusaha menempatkan dirinya serendah mungkin.

Namun jika kebaikan yang menjadi ukurannya, bisa berubah menjadi kebalikannya. Yang berpunya justru menjadi yang membutuhkan dan yang tak berpunya menjadi yang dibutuhkan. Yang berpunya butuh berbuat baik. Kalau pun tidak, ia memunyai kewajiban untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada yang tak berpunya. Dan sebenarnya, ia harus mencari sendiri atau dibantu mencari orang-orang yang berhak menerimanya karena ia yang butuh untuk mensucikan hartanya.

Kalau sudah demikian, orang yang berpunya, karena merasa membutuhkan, akan mencari dimana orang-orang yang tak berpunya. Ia akan melihat tetangga kanan-kirinya, berkeliling ke kampung-kampung, masuk ke gang-gang sempit untuk mencari siapa saja orang-orang yang tak berpunya. Jika ia bertemu orang itu, ia akan sangat berterima kasih karena mau menerima pemberian darinya. Mengapa harus berterima kasih? Ya karena orang itu telah memberi kesempatan kepadanya untuk berbuat baik atau telah membantu mensucikan hartanya.

Sekarang, bagaimana yang tak berpunya? Mereka tak harus berada di perempatan-perempatan lampu merah, tak perlu berkeliling ke rumah-rumah dengan sandal japitnya, juga tak perlu berdesak-desakan sambil membawa kupon untuk ditukar dengan sembako.

Mereka tak perlu berpikir untuk itu sehingga pikiran mereka terfokus pada ikhtiar mencari rezeki tanpa meminta-minta. Kalau dengan ikhtiar itu mereka tetap tak berpunya, tak usah kawatir karena akan ada orang-orang berpunya yang mendatangi rumah mereka untuk berbuat baik atau mensucikan hartanya.

--------------
Pinjam gambar dari sini
12duadua © 2014