Sebenarnya blog ini tempat menampung tulisan-tulisan saya di blog yang dulu [karena alasan yang masuk akal ditutup oleh yang punya]. Sebenarnya lagi, saya sudah membuat blog berbayar [katanya biar keren] tapi ya karena sayanya yang kurang keren tutup juga. Jadilah blog ini yang jadi kena getahnya. Mengapa 12duadua? Ah, tidak ada yang istimewa dengan nama ini. Hanya penanda saja, blog ini dibuat bertepatan dengan tanggal 22 Desember, itu saja.
Kamis, 11 Juni 2009
Rabu, 10 Juni 2009
Sebuah Pesan
Rabu, 10 Juni 2009

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang yang peka terhadap pesan itu. Ia adalah sopir taksi yang kebetulan saya tumpangi. Seperti biasa, jika tak sedang lelah atau sumpek, saya mengajak ngobrol sopir taksi yang saya naiki. Saya membuka obrolan dengan pertanyaan standard, "Bapak sudah punya anak berapa?"
"Malu Mas," jawabnya.
"Lho, mengapa mesti malu?"
"Anak saya banyak Mas, empat orang."
"Ya nggak perlu Malu lah Pak, kalau sudah dikasih ya berarti Bapak mampu."
Lama-lama sopir taksi itu bercerita. Sebenarnya ia dan istrinya berencana untuk tak punya banyak anak, dua sudah cukup, paling banyak tiga. Ia dan istrinya sepakat untuk memakai alat kontrasepsi. Tapi, meski sudah berusaha, anaknya yang ketiga lahir, yang keempat pun juga lahir.
Saat hamil anaknya yang keempat ia dan istrinya bingung. Apa jadinyanya keluarganya nanti. Bisakah ia hidup dengan empat orang anak, padahal hidupnya masih susah. Ia dan istrinya kalut. Dalam keputus-asaan, ia dan istrinya sepakat untuk menggugurkannya. Tapi, sebuah peristiwa membuat rencana pengguguran itu batal.
Peristiwa itu berawal dari naiknya seorang ibu setengah tua menumpang taksinya. Perjalanannya lumayan jauh, Jakarta-Bogor. Rupanya ibu itu seorang yang ramah. Sepanjang perjalanan ia terus diajak ngobrol. Ketika taksinya masuk wilayah bogor, ibu itu bercerita tentang pengalamannya ketika berhaji.
Di tanah suci, ibu itu terheran-heran. Dalam bayangannya, ada seorang anak kecil yang berteriak memanggil-manggilnya. Sesaat kemudian, ibu itu tersadar, ia langsung berlutut dan memohon ampun. Tak kuasa pula ia menahan tangis. Ia teringat, dulu ia pernah meminta anaknya menggugurkan kandungannya.
"Saya langsung gemetar Mas," kata sopir taksi itu pada saya.
Setelah ibu hajah itu turun dari taksi. Ia langsung menelpon istrinya. Ia bilang agar bayi dalam kandungan itu tetap dipertahankan. "Biarkan saja dia lahir," katanya.
"Pesan, Ia mengirim pesan melalui ibu hajah," pikirku. Saat itu saya merinding, saya merasakan betapa besar kuasa-Nya. Tangan-Nya melingkupi seluruh jaga raya ini. Tapi yang lebih besar lagi adalah kasih dan sayang-Nya. Ia kirimi sopir taksi itu pesan agar kemiskinan tak menjadi alasan untuk melakukan perbuatan nista.
Saya lebih merinding lagi ketika sopir taksi itu melanjutkan ceritanya. "Tau nggak Mas, ketika saya harus melunasi tagihan rumah sakit untuk biaya melahirkan, tiba-tiba rejeki itu mengalir begitu saja. Padahal paginya saya bingung setengah mati, darimana saya dapat uang sebesar itu."
Memang pagi itu ia sangat bingung. Usahanya pinjam uang ke tetangga dan saudaranya belum cukup menutupi biaya rumah sakit, sisanya masih berbilang jutaan. Akhirnya, ia berangkat kerja dengan pasrah, yang penting berusaha.
Di sebuah jalan di Jakarta, ada bapak-bapak yang menumpang. Eh bapak itu bercerita, dirinya baru saja mendapat proyek besar. Kemudian dari sakunya ia keluarkan sejumlah uang dan diberikan kepadanya. "Segitu cukup Pak?" tanya bapak itu.
"Ya kalau ukurannya cukup sih nggak ada cukupnya Pak," jawannya.
Eh, bapak itu merogoh saku lagi, mengeluarkan uang dan diberikan kepadanya lagi. Ia sama sekali tak menyangkanya. Jawabanya tadi bukan bermaksud untuk meminta tambahan. Ia hanya ingin mengatakan, sifat manusia itu tak pernah cukup, diberi berapa pun pasti nggak akan cukup.
Sehari itu, ia mendapati beberapa penumpang yang hampir sama dengan bapak pemenang proyek itu, orang-orang yang berpunya dan baik hati. Sehingga hari itu juga, ia mendapat uang yang cukup untuk membayar tagihan rumah sakit.
Alhamdulillah, saya berucap syukur. Hari itu saya mendapat pelajaran (pesan) yang sangat berharga. Dia yang menunjukkan kita jalan, Dia juga yang akan memberi kita kekuatan untuk menyusurinya.
Rabu, 03 Juni 2009
Jangan Anggap Kami Bodoh
Rabu, 03 Juni 2009

Saya kurang tahu, dukungan spontan saya itu karena penilaian emosional saya atau karena pengalaman saya yang berlawanan dengan kasus Ibu Prita.
Dulu, kami pernah membawa pembantu saya berobat ke salah satu rumah sakit di Malang. Pembantu saya mengeluh mual dan sudah lebih dari tiga hari badannya panas. Setelah masuk UGD, dokter jaga waktu itu melakukan tes darah. Ternyata trombositnya cuma 80 ribu. Kesimpulannya, pembantu saya terkena demam berdarah.
Setelah dirawat tiga hari, trombositnya naik. Hari itu juga diputuskan boleh pulang. Namun, beberapa jam sebelum pulang, pembantu saya muntah darah dan kondisinya drop.
Dilakukanlah diagnosis ulang. Akhirnya ketahuan, pembantu saya terkena kanker hati yang sudah parah. Dokter yang bertugas waktu itu menjelaskan dengan rinci prosedur yang akan dilakukan. Kami pun mendapat rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam.
Lebih satu minggu pembantu saya dirawat di rumah sakit itu. Setiap habis pemeriksaan, dokter memanggil saya ke ruanggannya. Dijelaskan kondisi pembantu saya dan treatment apa yang akan dilakukan. Tak satu pun yang disembunyikan. Bahkan obat-obat yang akan diberikan dijelaskan degan detail.
Kami pun berdiskusi. Dokter itu juga memberikan no HP-nya jika sewaktu-waktu kami butuh berkonsultasi. Kami semua merasa tenang, meski belum bisa dipastikan kapan pembantu saya boleh dibawa pulang.
Yang membuat kami tenang adalah karena kami merasa dimanusiakan, tidak dianggap bodoh. Meskipun dokter yang lebih tahu semua tindakan medis, tapi kami diajak ngobrol dan berdiskusi seolah-olah kami rekan satu timnya.
Lebih terharunya lagi, setelah mengetahui yang dirawat itu bukan keluarga saya, dan yang menanggung semua biaya adalah saya, dokter itu menggratiskan seluruh biaya kunjungannya.
Berdasarkan pengalaman itu, saya bisa langsung menilai, jelas perlakuan kepada Ibu Prita itu bukanlah perlakuan yang seharusnya diberikan oleh institusi medis, lebih-lebih rumah sakit itu dibilang berstandart internasional. Rasanya kok jauh sekali ya.
Kekurang cerdasannya lagi, membawa kasus Ibu Prita ke delik hukum tanpa mempertimbangan situasi politik sekarang. Lihat saja, tokoh-tokoh politik memanfaatkan momentum ini untuk meraih simpati masyarakat. Hasilnya, bukan Ibu Prita yang mendapat pandangan negatif, justru rumah sakitnya yang banyak dikecam.
Bagi perusahaan jasa, kecaman itu pertanda yang sangat buruk dan akan sangat merugikan perusahaan di masa yang akan datang. Saya membaca sebuah komentar dari seseorang di media yang mengharamkan keluarga dan keturunannya berobat ke rumah sakit itu. Hampir semua komentar senada dengan itu. Kalau sudah begini, cilaka dua belas, ambruklah image rumah sakit itu. Sia-sia biaya advertising yang dikeluarkannya.