Pages

Rabu, 30 Mei 2007

Warga Lawan Senjata Api

Rabu, 30 Mei 2007
Turut berduka atas terjadinya tragedi Desa Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan
Tragedi kembali terjadi
Warga lawan senjata api
Meski kami berlari
Akhirnya ada yang mati

Entah negeri apakah ini
Aparat yang seharusnya mengayomi
Berjuang demi keamanan negeri
Malah membikin kami seperti dihantui

Sudah butakah hati tuan
Menganggap kami seperti bebatuan
Tak punya jiwa hingga harus disingkirkan
Diinjak dan tidak dipikirkan

Tidak tahukah tuan
Hidup kami sudah susah
Kenapa ditambah resah
Perkara tanah, darah kami tumpah

Selasa, 29 Mei 2007

Freakonomics

Selasa, 29 Mei 2007
Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner

Saat jalan-jalan ke toko buku, saya menemukan buku Freakonomics karya Steven D. Levitt, seorang ekonom muda dari Amerika, kerja bareng dengan Stephen J. Dubner, kolumnis dari New York Times dan The New Yorker.


Saya tertarik dengan judulnya, Freakonomics, Ekonom "nyeleneh" membongkar sisi tersembunyi segala hal. Seluruh judul babnya adalah sebuah pertanyaan. Menurut Levitt, pertanyaan sangatlah penting, meskipun sederhana. Semua kemungkinan jawaban pertanyaan itu memberi pandangan dari sisi yang berbeda suatu masalah.

Bab 1, diawali dengan pertanyaan, "Apa Persamaan Guru dan Pegulat Sumo ?". Bab ini menceritakan bagaimana seorang guru, demi reputasinya, berbuat curang dengan memberikan jawaban soal ujian persamaan kepada murid-muridnya. Persis seperti kasus Ujian Nasional di Indonesia. Kecurangan juga terjadi di turnamen Sumo, di Jepang. Sumo adalah olah raga yang disakralkan di Jepang, tetapi tetap saja masih ada rekayasa pertandingan.



Yang menarik, pada awal bab diceritakan sebuah studi tentang bagaimana mengatasi keterlambatan penjemputan di penitipan anak. Di salah satu penitipan anak di kota Haifa, Israel, orang tua sering terlambat menjemput anaknya. Akibatnya anak menjadi resah dan pihak penitipan harus menyediakan, paling tidak, satu guru untuk menjaganya.



Seorang ekonom menyarankan agar penitipan menerapkan sistem denda bagi orang tua yang terlambat menjemput anaknya. Saran diterima, tetapi sebelum diterapkan, ekonom tadi mengujicobakan sistem denda tersebut pada 10 penitipan anak selama 20 minggu. Empat minggu awal, denda masih belum dikenakan, hanya mencatat saja keterlambatan yang terjadi sebagai pembanding. Setelah minggu kelima, denda baru diberlakukan.



Ternyata, setelah sistem denda diberlakukan, keterlambatan justru bertambah. Bahkan hampir dua kali lipat dari sebelum diberlakukan denda. Denda tidak menjadikan orang tua mengurangi keterlambatan, justru denda menjadi kompensasi rasa bersalah pada penitipan anak.



Di bab 4, Levitt memaparkan analisanya mengenai penyebab penurunan yang tajam angka kriminalitas di Amerika sekitar tahun 1990. Penurunan itu mengherankan berbagai kalangan karena terjadinya secara tiba-tiba.



Banyak pakar memberikan analisanya. Sebagian besar menyimpulkan penurunan angka kriminalitas itu disebabkan karena semakin menguatnya ekonomi Amerika, juga karena semakin banyaknya polisi dan strategi kepolisian yang sangat inovatif.



Tetapi Levitt memberikan pandangan yang berbeda. Menurunnya angka kriminalitas itu bukan karena faktor ekonomi maupun organisasi kepolisian yang semakin handal. Levitt memaparkan gambaran demografi penduduk Amerika. Pelaku kejahatan kebanyakan adalah anak muda, usia 15 sampai 25 tahun. Jumlah anak muda yang berpotensi melakukan kejahatan pada tahun 1990 sangat kecil, jauh lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya.



Dirunut jauh kebelakang, penurunan jumlah anak muda itu akibat dari kebijakan pelegalan aborsi di sekitar tahun 1970. Ternyata, perempuan yang memanfaatkan pelegalan aborsi itu kebanyakan perempuan dari keluarga miskin, para remaja, perempuan hamil diluar nikah atau ketiga-tiganya. Jumlah remaja yang berpotensi kriminal kecil karena tidak sempat dilahirkan.



Memang analisa Levitt ini mengundang kontroversi, terutama dari kalangan moralis. Kemudian Levitt menjawab, "jika moralis mewakili apa yang seharusnya terjadi, maka ekonom mewakili apa yang sesungguhnya terjadi".



Bagi yang suka berfikir keluar dari konteks umum (out of the box), buku ini sangat menarik, meskipun tidak sepenuhnya menyetujui analisa-analisa yang dikemukakan Levitt.


Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2006. Tebal 258 halaman dengan harga Rp. 50.000,-. Teman-teman juga bisa mengakses webnya atau blognya

Senin, 28 Mei 2007

Nguping

Senin, 28 Mei 2007
Waktu sudah lebih jam 9 malam, perut saya terasa tidak enak. Ternyata saya belum makan. Saya pun pergi ke warung terdekat.

Di warung secara tidak sengaja saya mendengar obrolan dua orang pengunjung. Rupanya mereka membicarakan kondisi sekarang yang serba susah. Jelas terdengar di telinga saya ucapan salah satu dari mereka, "lebih enak jaman Pak Harto dulu ya, usaha gampang dan pengangguran tidak banyak seperti sekarang", sambil melirik ke arah saya.

Saya berusaha tetap diam dan memfokuskan pendengaran saya sambil menyantap mie goreng. Sebenarnya saya ingin sekali nimbrung obrolan mereka, tapi niatan itu saya urungkan, sepertinya lebih asyik tanpa ada campur tangan saya yang beda generasi dengan mereka, obrolannya lebih original.

Orang tadi melanjutkan, "sebenarnya masalah Pak Harto itu cuma korupsi saja". Wah, ini lebih baik dibanding hanya bilang jaman Pak Harto lebih baik dibanding sekarang. Mereka sudah sadar bahwa jaman Pak Harto banyak korupsinya. Pemberantasan korupsi, yang sekarang gencar dilaksanakan, terbaca oleh masyarakat dan melekat di ingatan mereka bahwa korupsi adalah praktek yang jelek.

Berarti secara tidak langsung, pemerintah sekarang berhasil menanamkan persepsi tentang korupsi kepada masyarakat sampai lapisan bawah, sebuah pencapaian yang bagus.

Tetapi persepsi itu akan goyah jika pemerintah tidak konsisten. Hanya memilih kasus yang kecil-kecil saja, yang kelas kakap tidak serius ditangani. Dan penetapan hukum yang tidak jelas pada mereka yang sudah terbukti melakukan tindak korupsi.

Bulan Mei kemarin orang ramai memperingati lahirnya reformasi. Ramai juga orang berbicara, sampai saat ini tujuan reformasi belum tercapai dan cenderung melenceng dari tujuan semula. Seabrek daftar tujuan reformasi menurut persepsi masing-masing dan belum satupun bisa terwujud, termasuk pembangunan ekonomi yang belum dirasakan masyarakat.

Menurut saya, reformasi akan sampai pada tujuan jika sudah tidak ada lagi orang yang bilang jaman Pak Harto (Orde Baru) lebih baik debanding sekarang.

Lho, kok telingaku sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Saya lihat kanan kiri, ternyata tinggal saya sendiri dan bapak penjaga warung yang ternyanya dari tadi memperhatikan saya, "Ada apa mas kok ngelamun, diputusin pacar ya"..............

Jumat, 25 Mei 2007

Berkelebihan

Jumat, 25 Mei 2007

Bagi orang yang berkelebihan, sebaiknya memberi pada orang yang kekurangan.

Berkelebihan itu jangan diukur dari diri kita sendiri. Manusia itu tidak pernah merasa cukup, kalau merasa cupuk pun sulit, bagaimana bisa merasa berkelebihan. Ini yang sering menjadi penghalang bagi kita untuk memberi orang lain.

Berkelebihan itu diukur dari apa yang kita punya dibandingkan dengan yang dipunyai orang lain. Ketika kita punya segelas air dan disamping kita ada orang yang tidak punya, berarti kita berkelebihan dibanding orang itu. Wajib bagi kita untuk memberinya air meski sama-sama haus. Tentu tidak semuanya.

(Khotib Jum'at)

Kamis, 24 Mei 2007

Selamat Untuk Milanisti....

Kamis, 24 Mei 2007
Ekspresi kekecewaan Dirk Kuyt, satu golnya tidak bisa mengantar Liverpool menjadi juara.

Tadi malam saya menyempatkan nonton final Champion League di televisi (AC Milan vs Liverpool). Sendirian saja, karena tidak ada yang suka nonton sepak bola di rumah selain saya, juga karena siarannya jam 2 dini hari. Hehehe, meski akhirnya harus kecewa karena Liverpool, jagoan saya, kalah. Tidak apa-apa, Milan memang pantas juara, meski Liverpol bukan berarti tim yang jelek.

Saya memang suka menonton sepakbola (main sendiri juga suka). Saking seringnya nonton sepak bola sampai-sampai istri saya cemburu, bahkan sempat marah-marah karena merasa dinomorduakan. Kalau sudah begitu, saya harus tau diri dan nanya mau nonton apa atau minta bantuan apa. Memang di keluarganya tidak ada yang suka nonton sepak bola, kecuali ibunya.

Hehehe, saya tidak tahu sejarahnya kenapa justru ibu saya yang suka, bukan bapak atau kakak ipar yang laki-laki. Bahkan salah satu kakak ipar saya pernah menyindir orang yang suka nonton sepak bola, "orang kerja kok ditonton" kataya.

"Tidak apa-apa nonton orang kerja, saya suka kok, tidak ada yang dirugikan dengan itu" pikirku. Ya asal tidak sampai berlebihan, misal sampai membuat istri marah atau anak terlantar.

Btw, selamat untuk AC Milan dan pendukungnya..............

Selasa, 22 Mei 2007

Bukan Membeli tapi Mengganti Biaya....

Selasa, 22 Mei 2007
Ketika pembantu saya sakit dan memerlukan transfusi darah, saya sering bolak-balik pergi ke Palang Merah Indonesia (PMI) untuk ngantri darah.

Awalnya saya tidak mengerti, mengapa untuk mengambil satu kantung darah harus membayar ? Bukankah darah itu sumbangan dari masyarakat yang secara sukarela mendonorkan darahnya ?

Rupanya pihak PMI sudah menduga akan timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu dari masyarakat. Di papan informasi di ruang tunggu dipasang poster yang bertuliskan "Bukan membeli, tapi mengganti biaya penyimpanan dan pengolahan darah." Di bawahnya terpampang bagan yang menggambarkan bagaimana proses dari awal, saat masyarakat mendonorkan darahnya, sampai darah diberikan pada pasien yang membutuhkannya.

Ternyata darah memerlukan perlakuan khusus saat penyimpanan agar layak diberikan pada pasien. Tentu semua proses itu memerlukan biaya. Biaya akan bertambah jika darah harus diolah untuk memisahkan bagian-bagiannya (misal trombosit atau hemoglobinnya). Akhirnya saya paham dan mengerti, megapa saya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan sekantong darah.

Di sisi yang lain saya berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapapun yang dengan sukarela mendonorkan darahnya. Karena anda semua pembantu saya dan entah berapa ribu nyawa setiap harinya yang bisa diselamatkan. Anda semua adalah pahlawan kehidupan.

Kemudian saya tergelitik dengan donor organ tubuh, seperti ginjal, yang beberapa waktu lalu sempat ramai diberitakan di media. Kabarnya pendonor menerima bayaran berupa uang. Saya kurang tahu, bagaimana memahami kasus semacam ini, tentu tidak sama dengan donor darah yang pendonornya sukarela.

Lebih tidak mengerti lagi, ada sepasang suami istri kurang mampu yang ingin menjual satu ginjalnya untuk biaya hidup sehari-hari.

Cerita Penjual Sandal Jepit

Dalam sebuah seminar yang diikuti oleh pelaku pemasaran sebuah produk telekomunikasi, salah seorang peserta bertanya, "bagaimanan menjual produk di daerah yang mempunyai potensi yang sangat kecil ?"

Pembicara kemudian menyampaikan cerita tentang pendual sandal jepit. Suatu saat penjual sandal jepit menemukan daerah yang semua penduduknya tidak memakai alas kaki. Tidak satupun orang yang ditemuinya memakai alas kaki. "Wah bagaimanan saya menjual sandal jepit, sedangkan setiap orang tidak biasa memakai alas kaki ?" pikirnya.

Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya penjual sandal jepit menemukan cara. Pagi-pagi sekali, ia pergi kepasar dengan membawa sekarung pecahan kaca, "beling". Sambil melihat kanan kiri, ia menyebarkan beling-beling ke seluruh area pasar.

Ketika pasar ramai, iapun menggelar dagangannya di salah satu sisi pasar. Sebentar kemudian banyak orang yang membeli sandal jepit. Dagangannya laku keras.

Dalam konteks marketing saya sepakat dengan cerita diatas. Orang membeli karena kebutuhan. Maka, jika ingin dibeli, ciptakan kebutuhan.

Tetapi dalam konteks moral, saya kurang sepakat. Menyebar beling berarti membuat orang lain susah dan menderita. Kalau caranya seperti itu, apa bedanya dengan tukang tambal ban yang menyebar paku di jalan ?

Sebenarnya banyak contoh strategi pemasaran yang berhasil menciptakan kebutuhan konsumennya dengan cara yang menurut saya tidak membuat orang lain susah dan menderita. Salah satunya Yamaha dengan skuter otomatiknya.

Dulu orang menganggap aneh jenis sepeda motor jenis ini. Nuovo, skutik pertama dari Yamaha gagal di pasaran. Kemudian Yamaha mengeluarkan Mio dengan membidik segmen perempuan. Yamaha memberikan kesan bahwa perempuan mempunyai kebutuhan tersendiri terhadap sepeda motor yang belum bisa dipenuhi oleh sepeda motor yang ada di pasaran sekarang.

Sekarang kita lihat bersama, Mio laris di pasaran. Produsen sepeda motor lainnya pun mengikuti tren yang diciptakan Yamaha.

Tentu, strategi Yamaha kurang tepat jika diterapkan oleh penjual sandal jepit. Nah, ada usulan bagaimana merubah cerita penjual sandal jepit diatas agar tidak terkesan bertentangan dengan moral ?

Kamis, 17 Mei 2007

Pengakuan Menggemparkan

Kamis, 17 Mei 2007

Sebuah pengakuan dari seseorang dapat menggegerkan dunia politik di suatu negara. Lihat saja pengakuan Debora Jean Palfrey (DC Madam), seorang mucikari top di Washington DC. Ia mengaku pelanggannya juga berasal dari petinggi di jajaran pemerintahan Amerika.

Tidak cuma pengakuan, Ia mengancam akan membeberkan semua daftar kliennya, termasuk rekaman telepon, kepada public jika ia tetap dipenjarakan.

Ancaman itu berawal dari tuduhan terhadap dirinya karena melaksanakan praktek pencucian uang. Sang Madam menolak tuduhan itu, ia beralasan semua bisnis yang dilakukannya legal.

Ancamannya tidak main-main. Kabarnya, daftar klien itu sudah bocor ke tangan media. Satu korban telah jatuh, seorang petinggi lembaga donor Amerika (USAID) termasuk salah satu dalam daftar tersebut. Karena tidak bisa mengelak, akhirnya petinggi tersebut mengundurkan diri.

Satu lagi. Amin Rais, salah satu tokoh penting kita, memberikan pengakuan bahwa Ia pernah menerima dana untuk kampanye pencalonannya sebagai presiden dalam pemilu lalu yang jumlahnya menyalahi ketentuan yang diijinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia juga bersaksi semua pasangan calon presiden juga begitu.

Dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta, Ia mengakui menerima dana Rp 200 juta dari dana non budjeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk dana kampanyenya. Tetapi Ia juga mengetahui semua calon juga menerima dana yang tidak sesuai ketentuan KPU seperti dirinya, bahkan Ia bisa membuktikan ada aliran dana dari Woshington untuk salah satu calon.

Yang mengejutkan, dalam dialog itu Amin juga menyebutkan sebuah fakta. Ia sempat menanyai Jusuf Kalla, darimana dana ratusan miliar untuk biaya kampanyenya. Ternyata, menurut Amin, Jusuf Kalla dan tim suksesnya mendapat suntikan dana dari pengusaha.

Mengejutkan karena, menurut peraturan KPU, setiap pasangan calon hanya boleh menerima dana dari seseorang dengan batas maksimal Rp 100 juta. Nah, berarti pasangan SBY-JK sudah menyalahi aturan KPU itu.

Terus bagaimana ??

Karena menyalahi aturan dana kampanye, pasangan calon presiden dan wakil presiden bisa dibatalkan pencalonannya. Kalau pencalonannya saja sudah batal, berarti statusnya sebagai presiden terpilih saat ini bisa dicabut. Ini menurut seorang anggota KPU yang waktu dialog itu juga menjadi nara sumber.

Kalau berlaku demikian, tentu akan menimbulkan konsekuensi politik yang cukup besar.

Amin Rais lain lagi, Ia mengatakan, "Ini sebuah momentum yang tepat, mari dengan jujur kita akui bersama, meskipun tidak perlu ada pencopotan presiden dan wakil presiden"

Apa yang akan terjadi kemudian, apakah harapan Amin Rais terwujut ? Atau timbul desakan untuk tetap ditegakkannya hukum meski membawa perubahan radikal dan beresiko politik yang sangat besar ? Atau momentum ini berlalu begitu saja dan hilang dari ingatan kita seperti tidak terjadi apa-apa ? Mari kita lihat dan saksikan bersama.






Rabu, 16 Mei 2007

Menjadi Blogger Yang Sukses ??

Rabu, 16 Mei 2007
Ingin rasanya menjadi blogger yang sukses. Tulisan di blognya selalu dinanti banyak orang karena mendatangkan banyak manfaat. Menyuguhkan informasi yang menghibur, membakar semangat, menimbulkan inspirasi dan menggugah kesadaran. Meski belum seberani Budi Putra yang memilih untuk menjadi FULL TIME BLOGGER.

Syarat utama menjadi blogger yang sukses tentu harus pandai menuangkan gagasan dan pikiran dalam sebuah tulisan ditambah dengan usaha untuk konsisten menulis.

Menulis, sebuah usaha yang sangat berat bagi saya. Lingkungan masa kecil saya jauh dari budaya tulis menulis. Seingat saya, membuat tulisan hanya saya lakukan ketika ada tugas mengarang dari sekolah, itupun dengan keterpaksaan untuk mendapat nilai standar kelulusan untuk pelajaran bahasa. Semasa Sekolah Dasar, matematika dan IPA menjadi pelajaran terpenting sehingga setiap hari bapak selalu menggembleng saya mahir kedua pelajaran tersebut, sedangkan pelajaran bahasa diurutan paling belakang.

Mahir menulis seiring dengan banyak dan seringnya membaca. Semakin banyak dan semakin sering membaca akan meningkatkan kemampuan menulis. Celakanya, saya baru suka membaca setelah kuliah. Semasa sekolah, saya dilarang membaca selain buku-buku pelajaran. Pernah saya menunjukkan pada bapak kartu anggota Perpustakaan Daerah yang baru saja saya perloleh, dengan muka marah dan penuh curiga bapak menyuruh saya menyimpan dan tidak menggunakan kartu itu. Bapak takut jika saya keasikan membaca buku di perpustakaan lupa dengan pelajaran sekolah.

Tapi kurang bijaksana jika saya menyalahkan lingkungan dan masa kecil saya. Lebih baik segera memulai belajar menulis dan lebih banyak membaca.

Konsisten menulis, ya itulah yang saat ini saya usahakan. Saya selalu membawa bolpoin dan buku tulis kemana-mana untuk menuliskan apa yang saat itu terlintas di pikiran saya. Meskipun kadang tulisan, lebih tepatnya disebut coretan, yang saya buat kurang, bahkan tidak, bermakna.

Saya sangat senang berkenalan dan masuk di dunia blog. Bagi saya, dunia blog adalah salah satu anugrah dalam hidup saya, meskipun banyak orang di sekitar saya yang mencibir dan memandang sebelah mata.

Banyak yang saya peroleh di dunia blog ini. Artikel dan jurnal teman-teman blogger sering memberikan inspirasi dan membangkitkan semangat saya untuk menulis. Yang lebih penting, saya mendapatkan informasi dan kesadaran baru tentang suatu hal. Secara moral saya pun harus berkontribusi memberikan sesuatu. Dunia blog tidak akan hidup tanpa ada komunitas yang saling memberi dan sekaligus saling menerima.

Itulah yang menjadi keresahan saya akhir-akhir ini. Karena banyak halangan, saya jarang berjalan-jalan mengunjungi blog teman-teman, khususnya teman-teman MP. Juga, dalam waktu yang cukup lama, saya tidak menulis di MP.

Saya jadi bisa memahami perasaan Mbak Anky yang berkenan untuk dihapus dari kontak karena mungkin dalam waktu yang cukup lama tidak bisa berblog ria, Mbak Anke akan boyongan dari Jerman balik ke Indonesia. Saya pun ingin memohon maaf pada teman-teman karena belum bisa menjadi bloger yang baik bagi teman-teman.

Ya, sepertinya untuk menjadi blogger yang sukses terlebih dahulu harus menjadi blogger yang baik. Berusaha untuk terus berbagi, berbagi dan berbagi.

12duadua © 2014