Pages

Kamis, 11 Januari 2007

Kisah Jari Yang Terpotong

Kamis, 11 Januari 2007





"Waktu
jari ini terpotong, saya sangat bersyukur mas" Ungkap Pak Fajar, orang
asli Sumenep, daerah diujung timur pulau Madura, dalam sebuah obrolan
santai di kantornya. Iya, saya sendiri juga heran, mengapa kehilangan
satu ruas jari kok santai saja, malah sangat bersyukur ? Pak Fajar
paham keheranan saya, lalu bercerita sejarah hilangnya ujung jarinya
itu.



Tahun lalu Pak Fajar berkesempatan menunaikan rukun Islam yang kelima,
haji, yang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu, bahkan sejak Ia masih
muda, saat belum mempunyai pekerjaan dan masih bujang. Seperti
pandangan orang-orang Madura pada umumnya, haji adalah cita-cita yang
mulia dan harus diperjuangkan. Orang paling miskin di Madura pun
bercita-cita dan berharap bisa pergi haji. Pernah saya dengar ada orang
Madura pergi haji dari uang penjualan rumahnya.



Budaya masyarakat Madura menganggap pergi haji adalah perjuangan.
Seperti orang yang akan berperang, kepergiannya diantar oleh saudara
dan tetangga-tetangganya. Banyak sekali yang mengantar, apalagi kalau
yang pergi seorang tokoh masyarakat, bisa satu alun-alun penuh ikut
mengantarkannya. Setiap malam, selama hampir satu bulan, doa
dipanjatkan untuk kelancaran ibadah dan keselelamatannya. Setelah
kembali sampai di rumah, banyak saudara dan tetangga-tetangga yang
datang untuk menyampaikan turut berbahagia atas kembalinya dengan
selamat sampai di rumah dan yang lebih penting selamat atas tambahan
kata "Haji" di depan namanya sebagai tanda kehormatannya. Dan biasanya
siapapun namanya, orang akan memanggilnya "Ji".



Nah, setelah saudara dan tetangga-tetangga Pak Fajar semuanya sudah
berkunjung, ada seseorang yang tidak dikenal berkunjung ke rumahnya.
Perawakannya seperti seorang kiai, memakai surban dan baju putih,
bawahnya memakai sarung. Pak Fajar tidak berani menanyakan siapa dia,
tidak sopan katanya. Pak Fajar juga terpesona dengan tindak-tanduknya
yang begitu santun, tutur katanya halus, lebih halus dibanding orang
Sumenep kebanyakan, sampai-sampai Ia hanya mengangguk, mengiyakan
setiap apa yang diucapkannya. Selain mengucapkan selamat, orang tidak
dikenal itu mengingatkan bahwa Pak Fajar harus berhati-hati karena
dalam satu tahun kedepan ada salah satu yang disayanginya akan hilang.
Pak Fajar sangat kaget. Langsung, pikirannya tertuju pada tiga anaknya.
Apakah mereka yang dimaksud orang itu ? Benarkah ia akan kehilangan
salah satu dari mereka ?



Setelah kejadian itu, perasaan takut, bingung, kawatir campur aduk
menjadi satu. Keceriaan yang semula selalu tampak di wajahnya hilang,
berubah menjadi wajah yang kusut dan suntuk. Pak Fajar yang dulunya
penyabar dan suka bercanda sekarang berubah menjadi pemarah. Pernah
suatu ketika Ia memarahi istrinya habis-habisan karena sepulang kerja,
anak sulungnya mengeluh pusing-pusing dan mual, padahal setelah
badannya di oles minyak kayu putih sembuh, ternyata anaknya terkena
masuk angin.



Konsentrasi kerjanya juga hilang. Yang dipikirkan hanyalah ketakutan
kehilangan anaknya. "Saya ingat mas" katanya "Dulu paman saya yang di
Semarang kehilangan semua anaknya setelah pulang haji, meninggal mas,
ada yang sakit ada yang kecelakaan". Sebenarnya Ia sudah berusaha
pasrah, semua adalah milik Allah dan apapun yang akan terjadi adalah
hak Dia. Allah berhak atas semua kehendak-Nya. Tapi, kepasrahan itu
hanya membuatnya tenang sebentar. Ketika malam tiba, rasa takut
menguasai pikirannya kembali. Sering sekali Ia tidak bisa tidur.



Rasa takut dan cemas ditanggungnya sendiri. Pak Fajar sengaja tidak
bercerita kepada siapa-siapa, termasuk istri dan anaknya. Takut mereka
menjadi bingung dan stres seperti dirinya. Kebanyakan orang Madura
masih percaya hal-hal yang mistis, apalagi cerita-cerita tentang haji.
Mereka sangat yakin, selain perjalanan fisik, haji juga merupakan
perjalan mistis, perjalanan jiwa. Apapun yang dialami di Tanah Suci
adalah pertanda bagi perjalanyan hidup dan keluarganya nanti. Makanya
setelah kembali pulang, orang yang pergi haji disambut dan diharapkan
berkahnya. Kata-katanya menjadi tuah.



Bulan puasa kemarin, hampir satu tahun sejak pulang haji, di suatu sore
menjelang beduk maghrib terdengar, Pak Fajar mengupas kelapa muda untuk
berbuka keluarganya. Di ayunan yang terakhir, pisau pengupas melenceng,
nyasar ke telunjuk kirinya. Satu ruas di ujung jari terpisah dari ruas
yang lain. Spontan Pak Fajar mengucap syukur, "Rupanya ini yang
dimaksud, bukan anakku, alhamdulillah satu yang saya sayangi sudah
hilang".



Saya katakan, pasti rasa sakitnya lebih dari yang pernah saya rasakan.
Tapi Pak Fajar menyanggahnya "Saya sendiri juga heran mas, saya tidak
menjerit waktu itu, lawong tidak ada rasa sakitnya sama sekali kok"
katanya.



Sejak saat itu Pak Fajar kembali seperti semula, Pak Fajar yang ceria,
suka bercanda, seorang pegawai yang rajin dan pandai. "Begitulah mas"
Pak Fajar mengakhiri ceritanya. Ya saya mengerti mengapa syukur itu
spontan terucap ketika jarinya terpotong. Yang saya pikirkan cuma satu,
bagaimana Pak Fajar menjalani hidup dalam tekanan pikirannya sendiri
selama hampir satu tahun ?



14 komentar:

12duadua © 2014