Pages

Kamis, 15 Februari 2007

Saat kami berkunjung ke ISCO Pecindilan Surabaya

Kamis, 15 Februari 2007



Merangkai Cita-cita


Dalam keadaan yang sulit, kita tentu bangga melihat anak-anak mampu memiliki cita-cita di masa depan. Tentu kita akan lebih bangga bila mampu memberikan kesempatan bagi mereka untuk mewujudkannya.

Bersama seorang teman, saya berkunjung ke sanggar tempat anak-anak dari keluarga miskin berkumpul setelah pulang sekolah. Mereka sangat senang ketika ada orang baru datang berkunjung, apalagi tahu kalau mereka akan di foto, mereka berebut mengambil tempat paling depan sambil menunjukkan ekspresi wajah masing-masing.

Mbak Novi, koordinator sanggar mendampingi kami dan menjelaskan kegiatan-kegiatan untuk anak-anak di sanggar. "Semua keigiatan disini bertujuan untuk memperluas pandangan anak-anak tentang masa depan, jangan hanya terpaku pada lingkungan sekitar, kami berharap mereka punya cita-cita yang beragam, tidak hanya ingin menjadi tukang becak, pemulung atau pedagang seperti orang tuanya" Mbak Novi menjelaskan visi dan misi sanggar.

Sanggar ini melakukan pendampingan kepada anak-anak sejak usia sebelum sekolah (pra-sekolah) sampai mereka lulus Sekolah Menengah Atas. Pendampingan itu untuk mencegah anak-anak menjadi anak jalanan atau buruh anak, memberi mereka kesempatan pendidikan yang lebih baik sehingga dapat merasakan manfaat pendidikan bagi dirinya maupun keluarganya.

"Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam bercita-cita dan mewujudkannya" lanjut Mbak Novi. Memang anak-anak di sanggar itu sebagian besar berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu sehingga terpaksa harus bekerja di jalan atau melakukan pekerjaan yang berbahaya dan beresiko pada kesehatannya. Karena kondisi itu hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dikorbankannya.

Saya sangat senang berada di tengah-tengah mereka, dalam himpitan ekonomi keluarganya mereka masih dapat bermain dengan riang gembira dan bersemangat mengikuti semua kegiatan di sanggar. Saya pun berkeliling melihat-lihat ruangan-ruangan belajar anak-anak. Di dinding ruang depan terpasang absen yang unik, nama-nama anak di tulis di kertas yang berbentuk buah. Anak yang masuk buahnya berwarna, sedangkan yang tidak masuk buah kertas dipasang terbalik sehingga hanya nama dan warna putih yang terlihat. Selain itu berbagai lukisan dan berbagai kerajinan hasil karya anak-anak sanggar dipamerkan di ruang ini.

Saya pun melihat anak-anak bermain ular tangga di ruang tengah. Salah satu kotak ular tangga berisi perintah bercerita kegiatan dari pagi sampai sore ini. Salah satu dari mereka mendapat giliran bercerita. Dengan suara khas anak-anak iapun bercerita "Pagi saya bangun tidur lalu mandi pakai sabun, ondol dan sam-pooo. Setelah berpakaian saya berabgkat ke sekolah........" Saya tersenyum karena ia menyebut ondol untuk odol.

Di sela kegembiraan saya, ada kegetiran yang terasa ketika Mbak Novi bercerita bagaimana sulitnya berkoordinasi dengan sekolah tempat akan-anak belajar, terutama masalah pendanaan. Banyak pungutan liar yang peruntukannya tidak jelas, "Setiap pengeluaran kami, harus kami laporkan ke donatur Mas, jadi kami tidak bisa memenuhi berbagai pungutan atau iuran di luar kegiatan belajar mengajar, itupun harus jelas dan ada buktinya. Terkadang kalau diminta bukti pembayaran, sekolah tidak mau memberikannya. Di situlah kami sering uring-uringan dengan sekolah" cerita Mbak Novi.

"Ada satu lagi Mas" tambahnya, "Buku-buku penunjuang yang diberikan pada anak-anak sering kami beli dari luar, soalnya kalau beli di sekolah mahal dan lagi, bukti pembayarannya tidak bisa diminta, kan repot, bagaimana kami membuat laporan jika tidak ada buktinya"

Kegetiran itu segera terlupakan ketika melihat Sugik, salah satu anak sanggar menerima suapan vitamin dari kakak mentornya, kami semua tertawa melihat ekspresinya. "Semoga vitamin itu bisa membuat kamu sehat, bisa bersemangat untuk sekolah dan bisa merangkai cita-citamu" doa saya.

Suapan vitamin itu tanda kalau kegiatan sore ini berakhir, anak-anak pulang. Kami pun berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih karena diperbolehkan berkunjung ke sanggar ini. Mbak Novi sempat meminjamkan CD foto-foto kegiatan outbond, "tapi dikembalikan ya Mas" katanya sambil tersenyum.




Selasa, 13 Februari 2007

DPRD, mewakili siapa ???

Selasa, 13 Februari 2007


Ironi sekitar Peraturan Pemerintah Nomer 37 Tahun 2006 dan perjalanan demokrasi di Indonesia.


Dalam struktur pemerintahan yang demokratis, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Rakyatlah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan. Dalam konsep demokrasi yang ideal, rakyat yang langsung mengontrol jalannya pemerintahan, melakukan koreksi terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Karena konsep ideal tersebut tidak mungkink dilaksanakan, maka di Indonesia dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwujudan kekuasaan rakyat tersebut. DPR adalah wakil rakyat yang meneruskan suara dan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Sedangkan pelaksanaan fungsi DPR di kabupaten/kota dilaksanakan oleh DPRD

Namun demikian apa yang kita saksikan disekitar kontrofersi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 (PP 37/2006) mengenai Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang sedang ramai dibicarakan ?

Banyak elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, akademisi dan para tokoh masyarakat, menolak pelaksanaan PP 37/2006. Peraturan ini dinilai kurang memahami kondisi rakyat yang belum mentas dari kondisi krisis, ditambah lagi dengan banyak terjadinya bencana alam di berbagai wilayah Indonesia.

Karena mendapat banyak protes akhirnya Pemerintah mencabut peraturan tersebut. Pencabutan itu disampaikan oleh juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng bulan Januari kemarin. Penolakan terhadap PP 37/2006 juga disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan yang melakukan review terhadap pelaksanaan peraturan tersebut.

Reaksi yang berbeda ditunjukkan oleh wakil rakyat di daerah, Senin pagi (12 Februari 2007) 500 orang delegasi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), serta Badan Kerjasama Pimpinan DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (BKPDPSI) datang ke gedung DPR di Senayan, Jakarta. Kedatangan delegasi tersebut bertujuan untuk menuntut pemerintah melaksanaan PP 37/2006 secara konsisten tanpa takut pada tekanan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan elemen masyarakat yang lain.

Tidak hanya menyampaikan tuntutan, mereka juga akan menempuh jalur hukum jika tuntutan tersebut tidak dilaksanakan pemerintah. Menurut mereka pencabutan harus melalui penerbitan PP yang baru atau atas dasar putusan MA melalui upaya judicial review.

Sangat ironi, DPR yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat justru memberikan suara berbeda yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Memang tidak semua anggota DPRD menuntuk pelakasanaan PP 37/2006, bahkan ada yang secara tegas menolak dan bersedia mengembalikan uang rapelan yang diterimanya. Tetapi secara institusi, Adkasi, Adeksi dan BKPDPSI melalui perwakilannya masing-masing menuntut pelaksanaannya.

Pertanyaan yang muncul kemudian, DPRD itu mewakili siapa ? Rakyat kah ? atau siapa ?









Rabu, 07 Februari 2007

BPS-Statistics Indonesia

Rabu, 07 Februari 2007

http://www.bps.go.id/index.shtml
Setiap hari saya selalu bekerja dengan data-data, termasuk data-data statistik Indonesia. Ini salah satu sumber yang sering saya pakai. Data dan publikasi BPS bisa di download. Meski tidak lengkap banget tapi lumayan membantu.

Semoga bermanfaat.

Senin, 05 Februari 2007

Jangan Menilai Orang Dari Pakaian dan Tampangnya

Senin, 05 Februari 2007

Saya pernah mendengar cerita, entah darimana sumbernya, tentang orang desa yang ingin membeli emas. Suatu hari orang desa, sebut saja Parjan, pergi ke toko emas di kota. Ia ingin membeli emas untuk istrinya. Sesampainya di toko, Parjan melihat-lihat emas yang akan dibelinya. Tetapi penjaga toko membentak dan mengusirnya. Rupanya penjaga toko curiga, Parjan dikira ingin mencuri. Memang pakaian dan tampang Parjan tidak seperti orang yang berduit. Mendapat bentakan itu Parjan tidak marah-marah, Ia malah tersenyum dan perlahan mengeluarkan kantong plastik dari sarung yang diselempangkan di bahunya. Dari kantong plastik itu dikeluarkannya segebok uang yang kalau dihitung dapat ditukar dengan 1 kg emas. Penjaga toko pun terbelalak....

Suatu hari terman saya bercerita, di dekat rumahnya ada seseorang yang kelihatannya tidak waras. Pakaiannya compang-camping dan dekil, rambutnya sebahu dan acak-acakan. Suatu hari teman saya mendekatinya dan mengajaknya ngobrol. Luar biasa, kata teman saya, saat ngobrol tentang Tuhan, orang gila itu bilang "Allah itu satu titik bukan koma"...Wow dalam sekali, kita yang mengaku waras sering sekali berucap "Allah itu satu titik", padahal dalam hati dan perilaku kita bukan titik tapi koma. Masih ada embel-embel di belakangnya. Dan terkadang embel-embel itu panjang sekali.

Begitulah, dalam menilai orang sering sekali hanya melihat tampak luarnya saja, dari apa yang dikenakannya, dari tampangnya, dari potongan rambutnya dan sebagainya. Dan sering sekali kita keliru.

Pengalaman tidak mengenakkan saya alami minggu kemarin saat menginap di sebuah hotel di Sanur, Bali. Sore hari saya dan teman saya ingin berenang di pantai. Tiba-tiba saya mendengar orang membentak dari belakang. Setelah saya menoleh ternyata ada satpam hotel dengan muka garang membentak dan menunjuk-nunjuk saya dan teman saya. Tidak hanya membentak, ia juga menyuruh kami menjauh dari pantai, karena pantai itu khusus untuk tamu hotel.

Wah, sepertinya satpam itu belum tahu, kami juga tamu hotel, meskipun bukan dari biaya sendiri. Setelah kami memberi penjelasan, dengan berbasa-basi satpam itupun meminta maaf... Hehehe...memang tampang kami berdua tidak parlente seperti turis-turis itu....tetapi akan lebih enak kalau bicara dengan baik-baik. Coba kalau yang dibentak itu sakit hati dan menulis surat pembaca di koran, kan merepotkan....









12duadua © 2014