Pages

Rabu, 24 Januari 2007

Dunia Yang Semakin Datar

Rabu, 24 Januari 2007


---Dari sebuah buku "The Worl is Flat",
Thomas L. Friedmen, 2006---



Tahun 1991, Thomas L. Friedmen, kolomnis hubungan luar negeri The New York Times memunculkan gagasan tentang globalisasi lewat bukunya "The Lexus and the Olive Tree".
Kemudian, globalisasi menjadi wacanya yang banyak dibicarakan
masyarakat seluruh dunia. Banyak negara yang menganggapnya sebuah
tantangan, maka harus dilakukan persiapan untuk menghadapinya agar
tidak tergilas dan tertinggal arus. Tetapi ada juga yang menganggapnya
sebagai ancaman yang harus dilawan, maka dengan segala upaya
diciptakanlah kekuatan yang menandinginya.



Belum tuntas wacana globalisasi dibicarakan, muncul wacana baru tentang
dunia yang semakin datar. Sebenarnya bukanlah wacana pengganti, hanya
mempertegas bahwa globalisasi masih terus berlangsung. Bahkan bergerak
semakin cepat dan semakin banyak pemain yang turut ambil bagian
mendorong arusnya. Bukan lagi negara pelakunya, tetapi masing-masing
individu bisa perperan membuat dunia semakin datar.



Ketika negara-negara Eropa melakukan misi pencarian rempah-rempah, emas
dan penyebaran agama, sebenarnya gerbong globalisasi mulai bergerak.
Friedmen menyebut era ini dengan Globalisasi 1.0. Beberapa negara
mengglobal, mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang luas, melebihi
batas-batas negaranya. Era ini berlangsung hingga sekitar tahun
1800-an. Pertanyaan yang muncul, dimanakah posisi dan peluang negaraku
dalam persaingan global ini ?



Tahab globalisasi selanjutnya adalah mengglobalnya
perusahaan-perusahaan untuk kepentingan pasar dan tenaga kerja.
Pelakunya adalah perusahaan multinasional dengan modal gabungan yang
sangat besar. Produk atau layanannya meluas ke hampir seluruh pelosok
dunia. Tahap ini dinamakan Globalisasi 2.0. Pertanyaan yang kemudian
muncul, dimana posisi dan peluang perusahaanku dalam ekonomi yang
mengglobal ?



Dunia semakin datar, sekat-sekat negara bukan lagi menjadi batas yang
tegas memisahkan wilayah di belahan bumi yang satu dengan wilayah di
belahan bumi yang lain. Akses informasi semakin mudah, dalam sekian
detik saja informasi dapat menyebar ke seluruh dunia. Individu dapat
berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu yang lain dimanapun
berada. Orang di Indonesia dapat berkorespondensi dengan saudara atau
temannya di Amerika tanpa harus menunggu berhari-hari atau
berbulan-bulan sampai pak pos mengetuk pintu. Dengan e-mail, berbagai
kabar dapat sampai ketujuan hanya dalam hitungan detik. Bahkan, saat
ini dimungkinkan saling bercakap dan melihat wajah tanpa harus bertemu
langsung.



Fakta-fakta menunjukkan bahwa saat ini peran individu sudah mengglobal.
Masing-masing individu mempunyai kekuatan untuk saling bersaing dengan
individu lain di seluruh belahan bumi. Seseorang dari Bangalore, India
dapat bersaing dengan orang dari Dallian, China untuk menjadi bagian
sebuah proyek besar dari perusahaan di Amerika tanpa harus pergi
bermil-mil ke Amerika, masing-masing tetap di wilayahnya bahkan bisa
dilakukan dari rumahnya. Kemudian, individu-individu mulai menyadari
akan dihasilkannya kekuatan yang lebih besar lagi jika mereka saling
bekerjasama, saling membantu. Beberapa proyek dapat dipecah-pecah dan
dikerjakan oleh ahlinya masing-masing dari tempat yang berbeda-beda,
proyek dapat diselesaikan dengan kualitas yang optimal. Inilah
Globalisasi 3.0. Akhirnya setiap individu bisa dan harus bertanya :
dinama posisi saya sebagai individu di tengah persaingan global dan
bagaimana saya harus bekerjasama dengan individu lain untuk
menghasilkan kekuatan yang lebih besar ?



Menjadi Pemain atau Korban ?



Sejarah membuktikan, di era Globalisasi 1.0 dan Globalisasi 2.0, kita
mengalami kondisi yang memprihatinkan. Negara kita bukanlah negara yang
mengglobal pada era Globalisasi 1.0, bahkan menjadi korban sebagai
negara terjajah. Di era Globalisasi 2.0, bukan kita yang lebih
menguasai pasar dunia, melainkan kita yang menjadi target pasarnyanya.
Produk dan layanan perusahaan kita tidak banyak yang menyebar ke
pelosok dunia, melainkan banyak produk dan jasa dari luar yang masuk ke
negara kita.



Sekarang Globalisasi 3.0 sedang berlangsung, akankah kita menjadi
pemain atau lagi-lagi menjadi korban ? Tidak, jika kita segera bangun
dan menyiapkan diri. Beruntung, setiap kita diciptakan berbeda-beda dan
unik. Tidak ada individu lain di dunia ini yang sama persis dengan
kita. Setiap individu pasti berbeda, meskipun bagi mereka yang kembar
identik sekalipun. Setiap individu mempunyai kelebihan dibanding dengan
individu yang lain. Inilah potensi yang harus dikembangkan oleh setiap
individu, sesedikit apapun kelebihan itu. Untuk apa ? Untuk menutupi
kekurangan individu yang lain. Karena, selain mempunyai kelebihan,
setiap individu juga mempunyai kelemahan. Interaksi individu yang
demikianlah yang akan mewujudkan cita-cita hidup seluruh individu di
dunia, mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup.



Jadi tidak usah kawatir dengan globalisasi sampai berapapun tahapnya,
selagi kita mampu mengetahui dan mengoptimalkan kelebihan kita.











Selasa, 23 Januari 2007

Tuck Everlasting

Selasa, 23 Januari 2007



Tuck Everlasting

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Salah satu rahasia kehidupan adalah kematian itu sendiri. Tidak ada yang tahu kapan akan mati atau seberapa lama akan hidup. Yang pasti, semua yang bernyawa akan mati. Semua akan mengalami perjalanan hidup, mulai dari dilahirkan, dewasa, tua dan kemudian mati. Inilah perjalanan yang telah digariskan, hidup sesuai dengan kodrat. Hidup menyusuri perjalanan waktu.

Tetapi, bagaimana seandainya kita bisa memilih untuk hidup sesuai dengan kodrat atau hidup yang abadi, kita akan memilih yang mana ?

----------------------------

Di suatu sore saya dan istri melihat film "Tuck Everlasting" dari CD yang kami sewa di rental dekat kontrakan kami. Film tersebut diangkat dari sebuah novel karya Natalie Babbitt dengan judul yang sama, menceritakan kisah seorang gadis, Winifred "Winnie" Foster (Alexis Bledel), yang melarikan diri ke hutan karena kehidupan yang menyesakkan dan penuh aturan di rumahnya.

Karena terlalu jauh masuk ke hutan Winnie tersesat. Tidak disengaja ia bertemu dengan Jesse (Jonathan Jackson), anak bungsu dari keluarga Tuck yang tinggal jauh di pedalaman hutan. Pertemuan itu diketahui oleh kakak Jesse, Miles (Scott Bairstow). Kemudian Miles membawa Winnie ke rumahnya. Miles sangat marah karena Jesse berhubungan dengan orang asing karena dianggap membahayakan keluarga Tuck.

Winnie diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga Tuck. Bahkan Mae (Sissy Spacek), ibu Jesse dan Miles, merasa sangat senang karena ada perempuan lain di rumahnya. Angus (William Hurt) kepala keluarga Tuck juga menunjukkan sikap yang baik.

Setelah beberapa hari berada di keluarga Tuck, terjalin hubungan asmara antara Jesse dan Winnie. Hingga di suatu malam Jesse mengatakan sebuah rahasia keluarga yang disimpan ratusan tahun. Sebenarnya Jesse saat itu berusia 104 tahun. Seluruh keluarga Tuck ditambah satu kudanya hidup abadi, tidak bisa mati. Ini disebabkan karena mereka meminum air dari mata air tepat di bawah pohon dimana dulu Jesse dan Winnie pertama kali bertemu.

Karena itulah seluruh keluarga Tuck mengasingkan diri. Mereka takut kalau semua orang tahu rahasia itu sehingga akan terjadi kekacauan karena semua orang akan menginginkannya. Tidak ada seorangpun yang tahu kecuali keluarga Tuck dan menantunya, istri Miles yang saat ini dirawat di rumah sakit jiwa di kota.

Seluruh keluarga Tuck mengetahui hubungan Jesse dan Winnie. Akhirnya Angus mengajak Winnie ke tengah danau. Diatas perahu, Angus menceritakan kisah keluarga dan mata air abadi itu. Angus menceritakan semuanya karena kawatir kejadian Ann berulang. Ann tidak pecaya akan rahasia itu, bahkan menuduh keluarga Tuck menjalankan ajaran setan. Ann meninggalkan keluarga Tuck dan sekarang menjadi gila. Angus tidak ingin Winnie menjadi seperti Ann. Tetapi Angus tidak bisa memaksa untuk meminum atau tidak air itu, semua terserah pada Winnie.

"Semua orang menginginkan hidup abadi, sebenarnya yang lebih penting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita hidup" kata Angus kepada Winnie. "Jangan takut mati, takutlah akan kehampaan hidup" lanjut Angus.

Tanpa diketahui Angus dan Winnie, seorang misterius berbaju kuning (Ben Kingsley) melihat mereka berdua. Orang misterius ini sudah sejak lama berkelana mencari keluarga Tuck untuk memiliki rahasia keabadian itu. Ia mendengar dari Ann yang berteriak-teriak menyebutkannya.

Dengan cerdik, orang misterius itu melaporkan apa yang dilihatnya kepada keluarga Winnie yang sudah kawatir kehilangan putri satu-satunya. Ia bercerita bohong. Winnie berada di tangan penculik yang berbahaya dan jahat, sewaktu-waktu bisa melakukan apa saja terhadap Winnie. Keluarga Winnie meminta bantuannya. Ia menyanggupi tetapi dengan syarat hak kepemilikan hutan yang dimiliki keluarga Winnie di serahkan padanya. Dengan terpaksa permintaan tersebut disetujui.

Dibantu polisi dan anjing pelacak, keluarga Winnie menyusur hutan ke tempat yang ditunjukkan orang misterius berbaju kuning tersebut.

Keluarga Tuck sudah menduga keberadaannya diketahui oleh seseorang. Karena itu, mereka berencana pindah ke tempat yang lain dan mengantarkan Winnie pulang. Sesaat sebelum berangkat datanglah orang yang misterius itu. Orang tersebut meminta rahasia abadi itu dengan menyandera Winnie. Ia ingin menguasainya untuk dirinya dan untuk orang yang meninginkannya, tentu dengan sejumlah imbalan yang besar.

Di tengah ketegangan itu, Mae mengendap-endap dan berhasil memukul kepala orang misterius itu dengan balok kayu. Orang itu roboh dan tewas.

Tak seberapa lama rombongan keluarga Winnie dan polisi tiba di tempat itu. Angus dan Mae ditangkan, sementara Miles dan Jesse berhasil meloloskan diri. Angus dan Mae dimasukkan ke penjara. Mae mendapat hukuman mati karena melakukan pembunuhan.

Sebelum hukuman mati dilaksanakan, pada suatu malam, Miles, Jesse dan Winnie berhasil mengeluarkan Angus dan Mae dari penjara. Mereka tidak ingin hukuman mati dilaksanakan karena Mae tidak bisa mati, semua orang akan mengetahui rahasia abadi itu dan kekacauanpun akan terjadi.

Setelah berhasil mengeluarkan Mae dan Angus, keluarga Tuck berpisah dengan Winnie. Sebelum berpisah, Jesse meminta Winnie untuk meminum air abadi itu ketika suasana sudah aman. Suatu saat nanti Jesse akan menjemputnya.

Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, Jesse kembali untuk menjemput Winnie, tetapi yang dicarinya tidak ditemukan. Semua sudah berubah, kecuali Jesse dan keluarganya karena bagi mereka waktu itu tetap tidak bergerak. Kemudian Jesse pergi ke hutan tempat mata air abadi berada. Kembali Jesse tidak menemukan apa yang dicarinya. Mata air sudah hilang. Di atas bekas mata air itu ada sebuah makam, di nisannya tertulis Winifred Foster, tanggal dan tahun meninggalnya. Ternyata Winnie memilih untuk hidup sesuai kodrat, hidup menyusuri jalan waktu.

----------------------------

Bagi saya dan istri, film ini sangat bagus sekali. Sebenarnya kami tidak terlalu suka dengan setting filmnya, setting abad ke-19. Begitu juga bagi penggemar film action, jangan berharap ada adegan-adagan action yang menarik karena memang tidak ada. Kami tertarik dengan filosofi hidup dan kehidupan yang menjadi inti cerita film ini. "Yang terpenting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita menjalaninya. Jangan takut akan kematian, takutlah akan kehampaan hidup".

Kamis, 18 Januari 2007

"Kami tidak butuh rumah. Kami hanya minta rimba kami dijaga"

Kamis, 18 Januari 2007
Rating:★★
Category:Other
Saya sedikit kaget membaca berita kunjungan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal ke Suku Anak Dalam di Jambi tanggal 15 Januari kemarin.

Rencananya, Bapak Menteri akan memberikan bantuan rumah bagi masyarakat Suku Anak Dalam, tetapi mereka menolaknya, "Kami tidak butuh rumah. Kami hanya minta rimba kami dijaga" kata mereka.

Setelah cari-cari di internet, saya tau bahwa kehidupan mereka memang menyatu dengan hutan, mereka mempunyai peradaban sendiri yang berbeda dengan kita. Hidup berpindah-pindah, rumahnya hanya dari ranting dan dedaunan sekedar tempat berteduh dan ditinggalkan ketika mereka berpindah ke tempat yang lain. Mereka terbiasa tidur beralaskan tanah.

Ya...kalau memang kita menganggap kehidupan mereka tidak layak disebut kehidupan yang baik dan perlu untuk diperbaiki, cara pendekatannya yang harus dipikirkan. Jangan sampai niat baik kita dinilai negatif dan terjadi penolakan.

Yang menarik adalah ungkapan mereka, patut untuk kita renungkan bersama, "Kami hanya minta rimba kami dijaga". Hutan sangat berharga bagi mereka, nyawa bisa menjadi taruhan untuk menjaganya. Bagaimana dengan kita ?

Selasa, 16 Januari 2007

Pertarungan Dua Senjata, Budaya dan Merek Dagang

Selasa, 16 Januari 2007





Ketika
pemilihan umum menggunakan metode langsung, para kontestan berlomba
merebut hati rakyat, berebut corong untuk mengatakan dialah yang paling
dekat dengan rakyat, paling paham kemauannya dan paling tau kunci
segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Ujung-ujungnya coblos gambar
saya di bilik suara karena sayalah yang paling pantas untuk menjadi
pemimpinmu.




Mencermati
pemilihan Gubernur Jawa Timur yang akan dilaksanakan tahun depan, ada
pertempuran yang menarik antara dua bakal calon. Keduanya sama-sama
pejabat penting Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan sama-sama mempunyai
senjata yang ampuh untuk bertempur yang bisa menyerang tanpa disadari
musuhnya. Karena itu, meski pertempuran resmi belum dibuka, keduanya
sudah menabuh genderang duluan.




Yang
satu menggunakan senjata budaya, wayang kulit. Dia adalah salah satu
dalang ternama di Jawa Timur, ketrampilan memainkan boneka gepeng dan
keahliannya memainkan karakter memang sudah diakui banyak orang.
Berbagai even penting daerah dengan pagelaran wayang kulit sebagai
hiburannya, hampir pasti menunjuk dia sebagai dalangnya. Rupanya,
potensi ini yang membuat dia yakin dan mantap untuk terjun ke arena
pertempuran, tentusaja keahlian mendalang menjadi senjata utamanya.




Satunya
lagi menggunakan slogan "Pak De". Ceritanya, sewaktu dia menjadi orang
penting di Jawa Timur, banyak wartawan yang memanggilnya Pak De.
Tampangnya memang pantas disebut demikian, terutama kumisnya yang khas.
Di masyarakat Jawa, Pak De adalah sebutan untuk kakak dari Ibu atau
Bapak. Dalam keluarga besar Jawa, Pak De merupakan sesepuh pengganti
orang tua yang sudah meninggal, menjadi panutan dan rujukan semua
masalah keluarga adik-adiknya. "Pak De" inilah yang kemudian menjadi
senjatanya untuk memposisikan diri sebagai sesepuh, panutan dan rujukan
sekaligus yang paling dekat dengan rakyat. Menariknya, "Pak De" yang
semula hanya terkenal di kalangan wartawan saja, diperkenalkan kepada
masyarakat luas melalui marketing effort. "Pak De menjadi brand, merek
dagang, sebuah produk kacang. Masyarakat Jawa Timur mungkin tau kacang
dengan merek "Pak De" ini. Promosi kacang ini masuk di berbagai media,
baik media cetak maupun elektronik. Bahkan sempat menjadi sponsor
turnamen (liga) sepak bola dengan nama "Kacang Pak De Open".



Nanti akan kita saksikan bersama bagaimana kedua senjata itu berhasil
atau gagal mengantarkan empunya mencapai tujuan. Mana senjata yang
paling ampuh, senjata dengan amunisi budaya atau merek dagang. Atau
kedua-duanya kalah dengan senjata konvensional, jaringan politik dan
kekuasaan. Jangan-jangan kalah telak dengan ilmu hitam money politic.



Diluar itu semua, sebenarnya kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar
paham berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Membutuhkan manager
yang sanggup mengelola seluruh jajaran pemerintahan di bawahnya, bukan
untuk menebar pesona, tapi benar-benar bekerja mencari jalan keluar
dari kubangan penderitaan ini. Semoga rakyat Jawa Timur menemukan
pemimpin itu......













ilustrasi




budaya dan merek dagang

Kamis, 11 Januari 2007

Kisah Jari Yang Terpotong

Kamis, 11 Januari 2007





"Waktu
jari ini terpotong, saya sangat bersyukur mas" Ungkap Pak Fajar, orang
asli Sumenep, daerah diujung timur pulau Madura, dalam sebuah obrolan
santai di kantornya. Iya, saya sendiri juga heran, mengapa kehilangan
satu ruas jari kok santai saja, malah sangat bersyukur ? Pak Fajar
paham keheranan saya, lalu bercerita sejarah hilangnya ujung jarinya
itu.



Tahun lalu Pak Fajar berkesempatan menunaikan rukun Islam yang kelima,
haji, yang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu, bahkan sejak Ia masih
muda, saat belum mempunyai pekerjaan dan masih bujang. Seperti
pandangan orang-orang Madura pada umumnya, haji adalah cita-cita yang
mulia dan harus diperjuangkan. Orang paling miskin di Madura pun
bercita-cita dan berharap bisa pergi haji. Pernah saya dengar ada orang
Madura pergi haji dari uang penjualan rumahnya.



Budaya masyarakat Madura menganggap pergi haji adalah perjuangan.
Seperti orang yang akan berperang, kepergiannya diantar oleh saudara
dan tetangga-tetangganya. Banyak sekali yang mengantar, apalagi kalau
yang pergi seorang tokoh masyarakat, bisa satu alun-alun penuh ikut
mengantarkannya. Setiap malam, selama hampir satu bulan, doa
dipanjatkan untuk kelancaran ibadah dan keselelamatannya. Setelah
kembali sampai di rumah, banyak saudara dan tetangga-tetangga yang
datang untuk menyampaikan turut berbahagia atas kembalinya dengan
selamat sampai di rumah dan yang lebih penting selamat atas tambahan
kata "Haji" di depan namanya sebagai tanda kehormatannya. Dan biasanya
siapapun namanya, orang akan memanggilnya "Ji".



Nah, setelah saudara dan tetangga-tetangga Pak Fajar semuanya sudah
berkunjung, ada seseorang yang tidak dikenal berkunjung ke rumahnya.
Perawakannya seperti seorang kiai, memakai surban dan baju putih,
bawahnya memakai sarung. Pak Fajar tidak berani menanyakan siapa dia,
tidak sopan katanya. Pak Fajar juga terpesona dengan tindak-tanduknya
yang begitu santun, tutur katanya halus, lebih halus dibanding orang
Sumenep kebanyakan, sampai-sampai Ia hanya mengangguk, mengiyakan
setiap apa yang diucapkannya. Selain mengucapkan selamat, orang tidak
dikenal itu mengingatkan bahwa Pak Fajar harus berhati-hati karena
dalam satu tahun kedepan ada salah satu yang disayanginya akan hilang.
Pak Fajar sangat kaget. Langsung, pikirannya tertuju pada tiga anaknya.
Apakah mereka yang dimaksud orang itu ? Benarkah ia akan kehilangan
salah satu dari mereka ?



Setelah kejadian itu, perasaan takut, bingung, kawatir campur aduk
menjadi satu. Keceriaan yang semula selalu tampak di wajahnya hilang,
berubah menjadi wajah yang kusut dan suntuk. Pak Fajar yang dulunya
penyabar dan suka bercanda sekarang berubah menjadi pemarah. Pernah
suatu ketika Ia memarahi istrinya habis-habisan karena sepulang kerja,
anak sulungnya mengeluh pusing-pusing dan mual, padahal setelah
badannya di oles minyak kayu putih sembuh, ternyata anaknya terkena
masuk angin.



Konsentrasi kerjanya juga hilang. Yang dipikirkan hanyalah ketakutan
kehilangan anaknya. "Saya ingat mas" katanya "Dulu paman saya yang di
Semarang kehilangan semua anaknya setelah pulang haji, meninggal mas,
ada yang sakit ada yang kecelakaan". Sebenarnya Ia sudah berusaha
pasrah, semua adalah milik Allah dan apapun yang akan terjadi adalah
hak Dia. Allah berhak atas semua kehendak-Nya. Tapi, kepasrahan itu
hanya membuatnya tenang sebentar. Ketika malam tiba, rasa takut
menguasai pikirannya kembali. Sering sekali Ia tidak bisa tidur.



Rasa takut dan cemas ditanggungnya sendiri. Pak Fajar sengaja tidak
bercerita kepada siapa-siapa, termasuk istri dan anaknya. Takut mereka
menjadi bingung dan stres seperti dirinya. Kebanyakan orang Madura
masih percaya hal-hal yang mistis, apalagi cerita-cerita tentang haji.
Mereka sangat yakin, selain perjalanan fisik, haji juga merupakan
perjalan mistis, perjalanan jiwa. Apapun yang dialami di Tanah Suci
adalah pertanda bagi perjalanyan hidup dan keluarganya nanti. Makanya
setelah kembali pulang, orang yang pergi haji disambut dan diharapkan
berkahnya. Kata-katanya menjadi tuah.



Bulan puasa kemarin, hampir satu tahun sejak pulang haji, di suatu sore
menjelang beduk maghrib terdengar, Pak Fajar mengupas kelapa muda untuk
berbuka keluarganya. Di ayunan yang terakhir, pisau pengupas melenceng,
nyasar ke telunjuk kirinya. Satu ruas di ujung jari terpisah dari ruas
yang lain. Spontan Pak Fajar mengucap syukur, "Rupanya ini yang
dimaksud, bukan anakku, alhamdulillah satu yang saya sayangi sudah
hilang".



Saya katakan, pasti rasa sakitnya lebih dari yang pernah saya rasakan.
Tapi Pak Fajar menyanggahnya "Saya sendiri juga heran mas, saya tidak
menjerit waktu itu, lawong tidak ada rasa sakitnya sama sekali kok"
katanya.



Sejak saat itu Pak Fajar kembali seperti semula, Pak Fajar yang ceria,
suka bercanda, seorang pegawai yang rajin dan pandai. "Begitulah mas"
Pak Fajar mengakhiri ceritanya. Ya saya mengerti mengapa syukur itu
spontan terucap ketika jarinya terpotong. Yang saya pikirkan cuma satu,
bagaimana Pak Fajar menjalani hidup dalam tekanan pikirannya sendiri
selama hampir satu tahun ?



Senin, 08 Januari 2007

Reparasi dan Charge

Senin, 08 Januari 2007





Segala sesuatu itu ada waktunya. Tidak selamanya bisa berjalan normal dan terus-menerus dipakai. Suatu saat kemampuan akan berkurang, daya tahan melemah dan kerja tidak maksimal. Saat itu perlu ada perbaikan kembali, waktunya menghimpun tenaga dan penggantian bagian-bagian yang rusak.

Sepeda motor yang biasa saya gunakan terasa tidak nyaman, berat dan jalannya kurang sempurnya, akselerasi berkurang. Saya memutuskan untuk membawa ke bengkel untuk di reparasi. Memang menurut hitungan waktu sepeda itu sudah waktunya di reparasi dan olie harus diganti. Dan ternyata, rantai kampradnya sudah aus, waktunya diganti yang baru, maklum sudah tujuh tahun lebih berputar. Alhamdulillan setelah di reparasi, sepeda motor kembali nyaman dipakai, tarikannya kembali normal dan mesinnya halus.

Sampai di rumah, saya ingat harus mengirim SMS kepada teman. Eh ternyata baterainya hampir habis, tinggal satu strip. Segera saya mengisinya kembali. Pernah suatu saat saya lupa membawa charger sehingga tidak bisa mengisi ulang bateri dalam waktu yang lama dan setelah berhasil meminjam charger, baterei sudah tidak bisa terisi kembali. Kata teman di servis HP, baterei jenis ini tidak boleh kosong, kalau sudah terlanjur kosong harus di treatmen khusus agar bisa diisi kembali.

Terkadang saya merasa badan ini lemah sekali, bawaannya malas terus. Otak sulit sekali diajak berfikir, selalu mentok menabrak dinding. Hati pun terasa tidak tenang, gamang, seperti kapal yang terombang-ambing badai di laut. Apakah badan perlu di reparasi atau di-charge juga ? Mungkin iya, saya mencobanya. Dalam kondisi seperti itu saya beristirahat, mengembalikan tenaga melemaskan otot-otot yang tegang. Kalau sudah parah, saat badan terasa sakit semua, saya pergi ke Mas Ridwan, tukang pijat langganan saya. Untuk otak ternyata tidak bisa beristirahat, artinya tidak bisa berhenti berfikir sama-sekali. Apa boleh buat, digunakan mikir yang ringan-ringan saja, membaca koran, majalah atau buku dengan tema yang ringan, bisa juga membaca novel, atau bermain dengan anak. Untuk mengembalikan kondisi hati agar tenang, saya mengikuti anjuran ustad dan khotib, berdzikir, mengingat Allah. Dengan berdzikir, hati bisa kembali tenang.

Alhamdulillah, setelah semua saya lakukan, kondisi kembali normal, ada semangat untuk bekerja kembali. Tapi kok masih malas balik ke Surabaya ya...enakan bermain dengan anak di Malang...Lha terus yang cari uang agar dapur bisa mengepul siapa ??? hehehehe...

Gambar diambil dari Kompas.










12duadua © 2014