Pages

Kamis, 28 Desember 2006

Pendidikan Dan Pengangguran

Kamis, 28 Desember 2006








Dalam beberapa artikel yang saya baca menyebutkan bahwa berbagai masalah yang dialami bangsa Indonesia dapat diselesaikan, salah satunya dengan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Pendidikan adalah investasi sebuah bangsa. Pembangunan sektor pendidikan diyakini dapat menumbuhkembangkan sektor-sektor yang lain.

Untuk itu sejak 1984 pemerintah melaksanakan program wajib belajar (wajar) 6 tahun dan sepuluh tahun kemudia, 1994 ditingkatkan menjadi 9 tahun. Komitmen pemerintah dalam bidang pendidikan tercermin juga pada alokasi anggaran untuk pendidikan. Pada 2007 mendatang, anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 14,7 persen atau Rp 43,489 trilyun, lebih besar dibanding 2006 yang hanya 12 persen.

Usaha itu mendapatkan hasil, berdasarkan laporan UNDP 2004, angka partisipasi sekolah untuk penduduk usia 7 sampai 12 tahun mencapai 96,1 persen dan usia 13 sampai 15 tahun 79,3 persen. Artinya hampir seluruh penduduk Indonesia sudah dapat menikmati sekolah sampai sekolah dasar (SD) dan 79,3 persen sampai tingkat SMP.

Prestasi tersebut cukup menggembirakan dan kita pantas berharap bangsa ini mempunyai sumber daya manusia yang cukup untuk membawa bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang besar. Namun demikian pencapaian tersebut perlu dibandingkan dengan indikator-indikator yang lain agar jangan menjadi fatamorgana yang menyesatkan.

Tadi pagi saya mengikuti sebuah diskusi yang membicarakan tentang keterkaitan antara partisipasi sekolah dan pengangguran. Kresnayana Yahya, sebagai salah satu pemateri menyampaikan adanya kecenderungan daerah-daerah di Jawa Timur yang mempunyai angka partisipasi sekolah yang tinggi juga mempunyai tingkat pengangguran terbuka (usia 15 tahun keatas) yang tinggi pula. Menurut saya dan sebagian peserta diskusi yang lain merasa ini sebuah keanehan. Bagaimana bisa kecenderungan itu terjadi ? Lalu, apakah dapat disimpulkan bahwa pendidikan tidak membawa dampak pada penyerapan tenaga kerja, sehingga banyak yang menganggur ?

Masih menurut Kresnayana Yahya, fenomena ini disebabkan karena pendidikan kita lebih banyak menyiapkan anak didiknya untuk bekerja di bidang industri dan kecenderungan masyarakat kita yang mendambakan bekerja menjadi pegawai negeri, terbukti dengan semakin banyaknya pendaftar dalam setiap tes pegawai negeri. Padahal lapangan kerja untuk sektor industri semakin sempit dan daya tampung pegawai negeri juga kecil. Pendidikan belum mampu menyiapkan anak didiknya untuk kreatif dan inovatif menciptakan lapangan kerja.

Itu kasus di Jawa Timur, bagaimana dengan Indonesia ? Saya iseng-iseng mencari data partisipasi sekolah dan tingkat pengangguran daerah-daerah di Indonesia. Saya menemukannya di laporan UNDP 2004. Dari angka partisipasi sekolah SD dan SMP digabung dengan tingkat penganggurannya, saya membuat dua kelompok daerah. Kelompok I, daerah-daerah dengan rata-rata partisipasi sekolah SD 96,96 persen dan SMP 84,96 persen. Kelompok II, rata-rata partisipasi sekolah SD 92,34 persen dan SMP 72,97 persen. Ternyata kecenderungan di Jawa Timur terjadi juga pada Indonesia. Dareah-daerah dengan partisipasi sekolah tinggi, Kelompok I, mempunyai tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibanding daerah-daerah dengan angka partisipasi sekolahnya rendah, Kelompok II.

Jadi, usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan yang sudah terlihat keberhasilannya, harus dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan agar lulusannya menjadi manusia yang lebih kreatif yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.










Senin, 25 Desember 2006

Bunuh Diri Dan Pengendalian Emosi Pada Anak

Senin, 25 Desember 2006














Bagi orang tua, sangat sulit memahami peristiwa bunuh diri yang dilakukan anak-anak pada tahun-tahun terakhir ini. Melihat dari usianya saja, sudah menimbulkan pertanyaan, bagaimana mereka, yang masih belasan tahun mempunyai pikiran mengakhiri hidupnya secara tragis ? Apalagi melihat penyebab yang melatarbelakanginya, hanya masalah sepele bahkan sangat sepele.

Kita buka arsip media tiga tahun terakhir. Tahun 2004, Yudianto (12) siswa SDN 1 Karangtengah, Kecamatan Ampelgading, Pemalang, meninggal bunuh diri di atas ranjang ibunya. Diduga Yudianto nekat bunuh diri karena kecewa mendapatkan nilai jelek untuk pelajaran IPA dan setelah dimarahi ibunya. (Suara Merdeka, 04 Agustus 2004)

Tahun 2005, Eko Haryanto (15) siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, mencoba bunuh diri di rumahnya gara-gara merasa malu menunggak uang sekolah selama sembilan bulan. Setiap bulannya Eko dikenai biaya sekolah 5 ribu rupiah. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan. (Kompas, 03 Mei 2005)

Bulan ini, 16 Desember, Tosan (11), warga RT. 09/04, Dusun Kotakan Utara, Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo, ditemukan tetangganya sudah tidak bernyawa di pohon mangga dekat rumahnya. Gara-garanya sangat sepele, hanya karena kehilangan layang-layang dan benangnya. (tempointeraktif, 16 Desember 2006). Kalau lebih detail mencarinya, masih banyak kasus-kasus serupa di arsip media.

Perilaku menyimpang pada anak, seperti kasus bunuh diri, banyak disebabkan karena ketidaksiapan anak menyikapi kondisi lingkungan sekitarnya. Kecewa pada kondisi keluarganya yang miskin, rasa malu karena prestasi yang rendah dan amarah yang tidak terkendali. Penyimpangan yang terjadi bersumber pada ketidakmampuan anak mengelola dan mengendalikan emosinya.

Benar, sejak awal, anak-anak harus dibiasakan mengelola dan mengendalikan emosinya agar lebih bijaksanya merespon kondisi lingkungan yang dihadapinya. Lantas, bagaimana mengajarkan anak untuk bisa mengelola dan mengendalikan emosi ?

Masa perkembangan anak mulai bayi sampai akhir masa pubertas (16 sampai 18 tahun) merupakan masa yang sangat penting dan menentukan masa depan anak. Karena sangat pentingnya, masa ini biasa disebut sebagai masa emas perkembangan anak. Otak berkembang dengan sangat cepat. Ketika anak baru lahir, otak mempunyai sambungan syaraf yang lebih banyak dibanding masa dewasanya. Melalui proses yang dikenal sebagai "pemangkasan", otak terus menerus menghilangkan sambungan syaraf yang jarang digunakan, dan memperkuat sambungan yang sering digunakan. Otak dapat terbentuk karena pengalaman-pengalaman yang diterimanya.

Torsten Nils Wiesel dan David Hunter Hubel, peraih hadiah nobel untuk psikologi medis, membuktikannya. Kedua ilmuan ini melakukan percobaan pada hewan, kucing dan kera. Terdapat masa kritis perkembangan otak pada kedua hewan tersebut yang lamanya beberapa bulan sejak dilahirkan, otak menerima sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh indranya. Selama masa kritis ini, salah satu mata ditutup sehingga jumlah sinyal yang dikirimkan ke otak berkurang, sedangkan sinyal dari mata yang terbuka tidak mengalami perubahan. Setelah masa kritis berakhir, penutup mata di buka kembali. Apa yang terjadi ? Mata yang ditutup mengalami kebutaan secara fungsional, tidak ada cacat pada mata itu, hanya sambungan saraf ke otak yang mengalami penyusutan sehingga terlalu sedikit sinyal yang diterima otak.

Hal yang sama akan terjadi pada manusia, hanya saja masa kritisnya lebih lama, kurang lebih enam bulan. Seandainya pada masa kritis tersebut, mata anak kecil ditutup selama beberapa minggu saja, akan terjadi penurunan kemampuan melihat pada mata tersebut.

Masa kritis untuk perkembangan emosi lebih lama dibandingkan wilayah indranya. Bagian otak tempat pengendalian diri, pemahaman dan respon yang bijaksana terus tumbuh sampai akhir masa pubertas, kurang lebih usia enam belas sampai delapan belas tahun. Kebiasaan mengelola emosi yang berulang-ulang pada masa ini akan memperkuat sambungan syaraf di otak sehingga sinyal yang diterima semakin banyak. Sambungan yang kuat ini akan menjadi permanen ketika anak menjadi dewasa nanti.

Orang tua hendaknya memperhatikan masa kritis ini. Kesalahan memberikan perlakuan kepada anak akan membentuk sikap emosi yang salah pada anak ketika dewasa. Tiga perlakuan pada anak yang umunya tidak efisien dan mengganggu perkembangan emosi anak adalah :

Mengabaikan perasaan anak. Menganggap emosi anak sebagai hal yang kecil atau gangguan. Respon yang diberikan kepada anak biasanya berupa bentakan, lebih parahnya menjurus kekerasan fisik. Orang tua dengan gaya seperti ini gagal memanfaatkan momentum emosi anak sebagai peluang membangun hubungan yang dekat dengan anak dan melewatkan kesempatan untuk memberikan pelajaran bagi anak trampil secara emosional.

Tawar-menawar yang cenderung menyuap. Orang tua ini sudah peka pada emosi anak, tetapi penyelesaian dilakukan dengan tawar-menawar yang cenderung menyuap. Misalnya, anak menangis ingin ikut ayahnya bekerja, ibunya mengiming-iming memberikan sesuatu dengan catatan harus berhenti menangis, tanpa ada penjelasan mengapa anak tidak boleh ikut ayahnya bekerja.

Mencela dan menghina. Orang tua semacam ini tidak menghargai perasaan anak. Setiap emosi anak ditanggapi dengan cacian, celaan dan kecaman. Kata-kata "bandel", "bodoh", "tak tahu aturan", sering terlontar pada anaknya.

Memang otak manusia terus berkembang selama hidupnya, tetapi akan lebih sulit memberikan pelajaran yang bersifat korektif pada anak ketika mereka sudah dewasa. Anak yang sudah trauma sulit sekali dikembalikan pada kondisi normal . Jadi orang tua harus berhati-hati memberikan pengalaman pada anak di masa kritisnya. Pengalaman yang diterima anak sangat berpengaruh pada masa depannya nanti.

















Rabu, 20 Desember 2006

Bekerja Keras dan Bereksperimen.....!!!!

Rabu, 20 Desember 2006





Ketika jalan-jalan di dunia maya banyak saya temukan jurnal-jurnal yang menarik dan bagus, bahkan ada jurnal di sebuah blog yang menurut saya sangat bagus. Setiap kali saya membaca jurnal di blog tersebut, saya selalu terkagum dengan kedalaman pemikirannya. Terasa wawasannya luas sekali, mungkin bahan bacaannya sangat banyak. Tema-tema yang disampaikan juga up to date.

Untuk membuat jurnal yang semacam itu bagi saya perlu waktu yang cukup lama, bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan, itupun belum sampai pada tingkat kualitas yang sama seperti jurnal di blog tersebut. Herannya, setiap hari selalu ada jurnal terbaru di blognya. Saya pun bertanya-tanya, bagaimana ia melakukannya ? Apa pekerjaannya ? Apakah yang ditulis tersebut ada hubungannya dengan pekerjaannya ? Bagaimana mengingat tema bacaan yang sudah dibacanya ?

Pernah saya mendapatkan pengetahuan tentang knowledge management dari dosen saya. Jika saya ingin dapat mengelola pengetahuan yang pernah saya peroleh sehingga menjadi pengetahuan yang terintegrasi dalam diri saya, knowledge management adalah kuncinya, begitu kata beliau. Ya. Saat inipun saya sedang belajar untuk itu, meski sudah setua ini saya belum bisa merasakan hasilnya, belum pandai-pandai juga mengelola pengetahuan, masih amburadul.

Saya juga sering dengar dan membaca, segala sesuatu akan tercapai bila dikerjakan dengan kerja keras dan tekun. Pernah juga mendapat nasehat dalam hal tulis-menulis bahwa bakat itu hanya 10 persen saja, sedangkan yang 90 persennya adalah kerja keras. Thomas Alfa Edison pun baru menemukan bola lampu listrik setelah melakukan eksperimen ribuan kali. Dosen saya pun baru menjadi seperti sekarang ini setelah belajar selama 25 tahun.

Sepertinya saya masih berada pada tahap bekerja keras dan bereksperimen. Lebih banyak membaca, lebih sering berjalan-jalan ke blog teman-teman dan lebih banyak meluangkan waktu untuk merenung dan berlatih. Entah sampai kapan tahap ini saya lalui. Belum terbayang kapan saya bisa menemukan bola lampu yang sangat berharga itu.

Selamat bagi teman-teman yang sudah menemukannya, bahagia bukan ???









Senin, 11 Desember 2006

Bermain Di Pantai Lombang

Senin, 11 Desember 2006

Sebelum mulai bermain, kita membentuk kelompok, menentukan nama kelompok dan membuat yel. Kata teman-teman, yang megang megapon kayak pedagang asongan, hahahahaha.....

Hari Minggu kemarin, kami memandu Bapak dan Ibu pegawai Pemerintah Kabupaten Sumenep bermain di Pantai Lombang. Selain untuk melepas kejenuhan, kami belajar untuk bekerjasama dalam tim memecahkan masalah.

Pantai Lombang asyik sekali, selain luas juga bersih. Di sepanjang tepinya tumbuh pohon Cemara Udang. Pohon ini konon tidak boleh dibawa keluar dari pantai tanpa ijin karena dilindungi. Tanaman khas ini tidak ada di tempat lain.

Sayang...kemarin ada masalah dengan card reader kami, sehingga tidak banyak gambar yang kami ambil...

Rabu, 06 Desember 2006

Mata Air A. Mustofa Bisri

Rabu, 06 Desember 2006

http://gusmus.net/
Membayangkan berada di sebuah mata air dengan percik air yang sejuk, udara segar berembun, duduk termenung diatas rumput di tepian telaga sambil mendengar gemericik air gerimis tipis yang mendadak datang, tunas-tunas bunga teratai bergoyang. Wahai air, disini kamu memulai dan di muara kamu berakhir.

Begitulah suasana hati saya ketika berkunjung ke Gubuk maya A. Mustofa Bisri. Banyak hal dapat saya temukan dalam ruang itu, mulai dari guyonan, agama sampai catatan kritis dan analisis aktual dari beliau.

Teman-teman juga bisa masuk dalam komunitas mata air untuk berdiskusi dengan beliau atau sekedar komentar terhadap isi gubuk mayanya. Suasana kekeluargaan sengaja dibangun untuk merekatkan hubungan persaudaraan, saya mendaftarkan diri dalam komunitas mata air sebagai cucu, teman-teman bisa memilih sebagai ayah, anak atau kakek, bebas sesuai keinginan teman-teman.

Selamat berkunjung, semoga teman-teman merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan.
12duadua © 2014