
Untuk itu sejak 1984 pemerintah melaksanakan program wajib belajar (wajar) 6 tahun dan sepuluh tahun kemudia, 1994 ditingkatkan menjadi 9 tahun. Komitmen pemerintah dalam bidang pendidikan tercermin juga pada alokasi anggaran untuk pendidikan. Pada 2007 mendatang, anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 14,7 persen atau Rp 43,489 trilyun, lebih besar dibanding 2006 yang hanya 12 persen.
Usaha itu mendapatkan hasil, berdasarkan laporan UNDP 2004, angka partisipasi sekolah untuk penduduk usia 7 sampai 12 tahun mencapai 96,1 persen dan usia 13 sampai 15 tahun 79,3 persen. Artinya hampir seluruh penduduk Indonesia sudah dapat menikmati sekolah sampai sekolah dasar (SD) dan 79,3 persen sampai tingkat SMP.
Prestasi tersebut cukup menggembirakan dan kita pantas berharap bangsa ini mempunyai sumber daya manusia yang cukup untuk membawa bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang besar. Namun demikian pencapaian tersebut perlu dibandingkan dengan indikator-indikator yang lain agar jangan menjadi fatamorgana yang menyesatkan.
Tadi pagi saya mengikuti sebuah diskusi yang membicarakan tentang keterkaitan antara partisipasi sekolah dan pengangguran. Kresnayana Yahya, sebagai salah satu pemateri menyampaikan adanya kecenderungan daerah-daerah di Jawa Timur yang mempunyai angka partisipasi sekolah yang tinggi juga mempunyai tingkat pengangguran terbuka (usia 15 tahun keatas) yang tinggi pula. Menurut saya dan sebagian peserta diskusi yang lain merasa ini sebuah keanehan. Bagaimana bisa kecenderungan itu terjadi ? Lalu, apakah dapat disimpulkan bahwa pendidikan tidak membawa dampak pada penyerapan tenaga kerja, sehingga banyak yang menganggur ?
Masih menurut Kresnayana Yahya, fenomena ini disebabkan karena pendidikan kita lebih banyak menyiapkan anak didiknya untuk bekerja di bidang industri dan kecenderungan masyarakat kita yang mendambakan bekerja menjadi pegawai negeri, terbukti dengan semakin banyaknya pendaftar dalam setiap tes pegawai negeri. Padahal lapangan kerja untuk sektor industri semakin sempit dan daya tampung pegawai negeri juga kecil. Pendidikan belum mampu menyiapkan anak didiknya untuk kreatif dan inovatif menciptakan lapangan kerja.
Itu kasus di Jawa Timur, bagaimana dengan Indonesia ? Saya iseng-iseng mencari data partisipasi sekolah dan tingkat pengangguran daerah-daerah di Indonesia. Saya menemukannya di laporan UNDP 2004. Dari angka partisipasi sekolah SD dan SMP digabung dengan tingkat penganggurannya, saya membuat dua kelompok daerah. Kelompok I, daerah-daerah dengan rata-rata partisipasi sekolah SD 96,96 persen dan SMP 84,96 persen. Kelompok II, rata-rata partisipasi sekolah SD 92,34 persen dan SMP 72,97 persen. Ternyata kecenderungan di Jawa Timur terjadi juga pada Indonesia. Dareah-daerah dengan partisipasi sekolah tinggi, Kelompok I, mempunyai tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibanding daerah-daerah dengan angka partisipasi sekolahnya rendah, Kelompok II.
Jadi, usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan yang sudah terlihat keberhasilannya, harus dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan agar lulusannya menjadi manusia yang lebih kreatif yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.